Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Atlantis (20)

30 Januari 2015   18:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku tertegun menatapnya. Menatap sosok yang berdiri di hadapanku. Sosok yang sama seperti yang kubopong saat ini.

“Apa kabar, Efran?” sapanya.

Aku hanya mengangguk. Reaksi positif. Kuperhatikan sosok tersebut.

Pretty? Sepertinya agak berbeda.

“Benar. Aku adalah Pretty yang lain.”

Memang “lain”.

Lebih kalem.

Seperti biasa, Sheva berdiri tanpa ekspresi. Dia sekarang sudah berada di samping Pretty lagi – Pretty yang lain, yang baru atau haruskah kusebut yang ketiga?

Dia sepertinya sudah sangat familiar dengan tempat ini. Bungker rahasia di bawah tanah. Tempat dia dan replika lainnya berada dalam kondisi statis. Seolah-olah dia seperti sudah lama ada dan berkeliaran di sini.

“Sebelum Pretty tewas, dia sempat menekan beberapa kode di smartphone-nya untuk mengaktifkan kunci pembuka kapsul ini – sekaligus mentransfer data-data pikirannya,” Pretty menjelaskan.

That explained it.

“Terakhir Pretty mengaktifkan kill switch pada smartphone-nya. Gadget tersebut kini menjadi rongsokan tidak berguna. Aku yakin dia juga membakar SIM card-nya.”

Aku memang sudah memeriksa smartphone tersebut di TKP saat itu. Bukan cuma SIM card-nya yang terbakar. Benda tersebut benar-benar rusak parah – hancur dan hangus.

“Letakkan saja di situ.”

Aku meletakkan mayat Pretty “lama” di dalam incinerator. Sama seperti yang pernah kulakukan sebelumnya.

“Selanjutnya biar aku yang mengurusnya.” Dia berjalan dengan tenang menuju incinerator itu dan kemudian mengaktifkan.

Tak ada perasaan apa-apa pada diriku melihat incinerator itu memulai proses pembakarannya. Sepertinya Pretty juga sama sepertiku.

What’s next?

“Sekarang semuanya jadi lebih mudah.” Dia tersenyum.

“Bukannya sekarang keadaan jadi tambah kacau? Presiden meninggal dan kita saat ini akan diburu pihak yang berwajib.”

“Kamu lupa? Aku sudah meninggal – secara de facto. Drone itu merekam kejadian saat aku dibunuh.” Dia menoleh ke arah Sheva yang langsung menganggukkan kepalanya – menyetujui apa yang barusan dikatakannya.

Pretty menatapku, lalu melanjutkan kata-katanya,”Jadi kalau memang ada yang akan dicari pihak yang berwajib, orang itu adalah kamu.”

Aku mengangkat kedua bahuku. Terserah. Kalau aku kenapa-kenapa, toh dia juga yang bakalan repot.

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, sekarang semuanya jadi lebih mudah.”

Aku masih belum mengerti maksudnya.

“Lebih mudah bagaimana?” tanyaku memprotes.

“Rencana berikutnya,” katanya sambil mengangkat tangan dengan dua jari diacungkan. Rencana yang kedua maksudnya.

“Begitu RI 1 meninggal, maka RI 2 akan segera dilantik menjadi Presiden. Saat itu seluruh jajaran kabinet akan berkumpul menyaksikan pelantikan tersebut.”

Aku terdiam – mendengarkan. Apa yang dikatakannya tidak menyelesaikan masalah – perihal aku yang menjadi target pihak yang berwenang.

“Tugasmu yang berikutnya adalah menghabisi semua pejabat negara setingkat menteri yang hadir saat itu.”

Aku tertegun. Pretty sudah berpikir sampai sejauh itu.

“Memangnya aku bisa?“ tanyaku – aku enggan melakukannya.

“Kalau belum dicoba mana bisa tahu?”

“Aku tidak bersedia.”

Dia tersenyum. Dingin. Tatapan matanya tajam.

“Do it or I’ll make you do it myself,” katanya.

Aku memang sudah memikirkan kemungkinan ia akan mengendalikan pikiranku lagi. Tetapi sampai saat ini aku belum menemukan caranya – cara untuk mencegahnya melakukan itu padaku.

Sampai saat ini berita terbunuhnya Presiden Farhad Prayogo belum beredar di media daring. Sepertinya pihak berwajib masih menelusuri peristiwa tersebut dan mengambil sikap hati-hati mengingat kejadian ini berpengaruh besar terhadap keamanan negara – stabilitas politik dan ekonomi. Terbunuhnya kepala negara mengindikasikan negara dalam keadaan darurat.

Lalu bagaimana dengan Ayah?

Aku tidak yakin jika seluruh anggota kabinet dan pejabat setara lainnya kubunuh, Ayah akan otomatis menjadi Presiden.

Sama sekali tidak yakin.

********

“Sodom dan Gomorrah bukan satu-satunya tempat di mana Sang Pencipta menunjukkan amarahnya. Penduduk Atlantis – yang berpengetahuan sangat tinggi juga tidak lepas dari hukuman itu.”

Itu yang dikatakan Pretty – yang kedua, ketika aku menanyakan sebab musnahnya peradaban Atlantis.

“Memangnya apa yang dilakukan oleh bangsa yang berkebudayaan tinggi itu? Tentunya bukan sesuatu yang amoral kan?”

“Tentu saja bukan – jika yang kau maksudkan adalah perbuatan asusila dan semacamnya itu,” jawabnya. “Kami ingin menyamai Sang Pencipta.”

Aku terdiam – tidak percaya akan apa yang baru saja kudengar.

“Kami merasa mampu, merasa tidak terkalahkan. Kami bisa menciptakan apa pun yang kami mau. Kami juga bisa memusnahkan siapapun yang menentang kami.”

Pretty…. aku ingat, dia bisa membunuh tanpa mengedipkan matanya.

Kesombongan. Bukan, takabur.

“Mungkin kamu tidak percaya, tapi kami berhasil menembus batas ruang dan waktu.”

Aku memandangnya lekat-lekat.

Dia tertawa melihatku kebingungan.

“Katakan, Efran, jika kamu bisa pergi ke mana saja – ke tempat mana pun di alam semesta ini, semudah menjentikkan kedua jari tanganmu, apakah kamu tidak merasa kalau kamu itu memiliki kekuasaan yang mahahebat?”

Teleportasi! Bangsa Atlantis mampu melakukannya.

“Kamu bahkan bisa pergi ke era kapan pun kamu mau. Apakah itu zaman dinosaurus atau masa depan. Jutaan, tidak ratusan juta bahkan miliaran tahun dari sekarang.”

Luar biasa. Ini sungguhan atau khayalan Pretty belaka?

“Kalau memang bangsa Atlantis begitu hebatnya, kenapa bisa musnah – tenggelam begitu saja?” tanyaku.

Dia terdiam. Tak ada senyum di wajahnya.

“Beberapa di antara kami, para tetua, mencoba sesuatu yang terlarang. Sesuatu yang sejak dahulu sekali tidak pernah dan tidak boleh dipikirkan ataupun diperdebatkan.”

Aku terus mendengarkan.

“Mereka mencoba pergi ke awal saat semuanya itu bermula – masa terciptanya alam semesta.”

“Aku tidak merasa ada yang aneh mengenai hal tersebut. Jika aku punya kemampuan seperti mereka, aku pun mungkin akan melakukan hal yang sama. Bukankah kita jadi bisa membuktikan kebenaran-kebenaran yang tertulis di kitab suci agama-agama di dunia ini?”

“Kamu sepertinya tidak mengerti.”

Mungkin aku memang tidak mengerti.

“Mereka ingin melihat bagaimana alam semesta ini tercipta karena mereka ingin melihat dan menemukan Sang Pencipta.”

Aku tertawa.

“Bukan, kalau bertemu dengan Sang Pencipta pada saat kita sudah meninggal, tak ada hal lain lagi yang dapat kita lakukan lagi.”

Dia tahu apa yang kutertawakan. Bukankah kalau kita meninggal, kita akan bertemu dengan Sang Pencipta? Tak perlu repot-repot sampai harus mengarungi ruang dan waktu. Tetapi ingin mengetahui – melihat asal-usul alam semesta, itu hal yang berbeda.

“Jika kita bisa melihat dan bertemu dengan Sang Pencipta, mungkin kita bisa mengetahui rahasia kuasa Sang Pencipta. Mungkin kita juga bisa memiki kuasa semacam itu.”

Sesuatu yang absurd!

“Yang benar saja ….” kataku.

(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun