Bennosuke memegang bokken (pedang kayu) itu dengan kedua tangannya. Mengangkatnya ke atas hingga melewati kepalanya, lalu dengan cepat diayunkan ke depan seolah-olah ia sedang menyerang lawan yang berdiri di hadapannya. Ia lalu menghadap ke kiri dan mengulangi gerakan yang sama, kemudian ia berbalik dengan cepat ke kanan dan kembali menyerang seperti sebelumnya. Gerakannya terlihat cepat dan ayunan pedangnya kuat. Namun demikian, raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.
Terlalu lambat!
Ia terus menggerakkan pedangnya – mengulangi kembali gerakan-gerakan tersebut, menyerang ke berbagai arah. Beberapa kali pun ia melakukannya, ia tetap terlihat tidak puas.
Mengapa sulit sekali berbalik badan dengan cepat? Dengan pedang di kedua tangan …
Dorin memerhatikan bocah itu dari kejauhan. Biksu itu saat ini sedang menyiram tanaman di sekitar pekarangan tempat Bennosuke berlatih pedang. Bocah itu baru saja selesai belajar membaca dan menulis. Matahari juga belum terlalu tinggi, baru pertengahan jam ular – sekitar jam sepuluh pagi.
Dorin tersenyum.
Bocah yang rajin dan penuh semangat!
Walaupun ia baru berusia tujuh tahun, Bennosuke terlihat jangkung untuk ukuran anak seusianya.
Saat ini dojo sedang digunakan oleh murid-murid Munisai berlatih pedang sehingga Bennosuke memilih untuk berlatih di pekarangan rumahnya. Walaupun tidak begitu luas namun cukup lapang untuk digunakan berlatih pedang seorang diri. Bennosuke memilih untuk berlatih sendiri, ia tidak ingin belajar pedang pada ayahnya.
“Aku ingin menjadi kuat, menjadi hebat, dengan caraku sendiri.” Begitu yang pernah dikatakannya kepada Dorin – dengan wajah antusias.
“Oh, ya?” Cuma itu yang dikatakan Dorin waktu itu – dengan wajah tanpa ekspresi, terkesan acuh tak acuh.