Terus menulis, satu per satu, hingga kertas itu hampir penuh dengan goresan-goresan dua aksara itu. Ternyata jika dilakukan dengan perlahan, tulisannya tampak lebih bagus dan teratur. Latihan meditasi yang dilakukannya setiap pagi terbukti membantunya berkonsentrasi dalam menuliskan huruf-huruf kanji itu.
Sekali lagi, ia merasakan sesuatu, ia seperti menangkap satu hal yang menurutnya penting, tapi apa itu? Apa gerangan yang barusan mengusik pikirannya.
Ia menoleh ke arah Dorin – menunggu penjelasan lebih lanjut. Bukan penjelasan tentang menulis huruf kanji – apalagi masalah kotoran binatang dan kesuburan tanah, tetapi tentang seni bela diri, tentang ilmu pedang.
Seperti yang ia duga, Dorin sepertinya memang bisa membaca pikirannya. Namun biksu itu kali ini terlihat acuh tak acuh.
“Lakukan setiap hal baru dengan perlahan-lahan. Mulailah dari yang paling mudah dikerjakan terlebih dahulu,” ia mengulangi apa yang barusan dikatakannya. “Maka kamu akan bisa melakukannya dengan lancar, dengan lebih luwes, dan hasilnya tentu akan lebih baik.”
Bennosuke teringat saat ia melatih gerakan-gerakan jurus ayahnya. Ia bergerak terlalu cepat, berusaha meniru kecepatan gerakan Munisai. Akhirnya ia lebih sering terjatuh karena keseimbangan tubuhnya belum terlatih dan kekuatan kuda-kudanya belum cukup kokoh.
“Lakukan sebanyak dan sesering mungkin. Maka kamu tidak akan pernah lupa. Tubuhmu akan mengingatnya.”
Bennosuke tersentak, seperti tersadar akan apa yang menghambatnya selama ini.
Apa yang dikatakan Dorin berlaku tidak hanya dalam hal tulis-menulis, tetapi juga bisa diterapkan pada hal lainnya!
Jika aku sudah bisa melakukannya dengan lancar, melatihnya sesering mungkin, tubuhku akan mengingatnya …
Refleks – itu yang diingat tubuh. Bergerak tanpa sadar merespons …