Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siulan di Tengah Malam (9) - Tamat

19 September 2014   18:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa petugas kepolisian kemudian datang memeriksa mayat Renno dan seputar tempat ditemukannya mayat tersebut. Sekeliling tempat itu sekarang sudah terpasang police line sebagai pembatas.

Sebagai orang yang pertama kali menemukan mayat itu, aku diminta tetap menunggu di sana untuk sementara waktu.

Seorang petugas puslabfor – yang sebelumnya sibuk menyisir tempat itu, mendatangiku.

“Ini milik Anda?” tanyanya sambil memberikan kalung tersebut kepadaku.

Aku terkejut. Kalung dengan bandul simbol zodiak Gemini.

“Bapak tahu dari mana?” tanyaku sambil menerima kalung tersebut.

“Zodiak anda kan Gemini,” jawab si petugas sambil tersenyum.

Oh, aku tahu. Rupanya dia sudah mendapatkan informasi mengenai aku dan hubunganku dengan Arson, saudara kembarku tersangka dalam kasus Renno. Arson juga memiliki kalung dengan bandul simbol zodiak Gemini.

“Ehm …. Tidak apa-apa saya simpan?” tanyaku.

“Silakan, sudah kami periksa. Tidak ada sidik jari, bercak darah, reaksi kimia, atau apa pun.”

Aku terdiam.

“Tidak ada apa pun,” si petugas mengulangi lagi perkataannya. Mungkin dia juga bingung sekali.

“Mengherankan juga sebenarnya, harusnya paling tidak kan ada sidik jari Anda di situ,” si polisi melanjutkan sambil beranjak kembali ke lokasi penyelidikan.

“Bapak ketemu kalung saya ini di mana?” tanyaku masih penasaran.

“Itu, tersangkut di depan pagar rumah Anda,” katanya menunjuk pagar rumahku.

Aku tercekat. Tempat Renno berdiri waktu itu!

“Dia yang menemukannya,” katanya lagi sambil mengelus kepala seekor anjing gembala Jerman berwarna hitam. Anjing itu lalu berlari-lari kecil mengikutinya.

Jarak ditemukannya mayat Renno dan pagar rumahku mungkin sekitar lima puluh meter dan melewati jalan beraspal di lingkungan kompleks perumahanku. Terlalu jauh dari tempat ditemukannya mayat.

********

Beberapa hari kemudian di kantor polisi.

Aku diperlihatkan beberapa barang yang ditemukan di dekat mayat Renno.

Salah satunya adalah pisau cukur berwarna biru. Menurut si petugas, pisau cukur itu ditemukan di saku baju Renno.

Ah, benda ini yang hilang dari kamar mandiku!

Aku ingat waktu itu arwah penasaran Renno masuk ke kamar mandi rumahku. Dan keesokan harinya aku merasa ada sesuatu yang berbeda – tidak pada tempatnya, atau hilang.

Benda itu adalah pisau cukur Arson. Benda yang saat ini diperlihatkan padaku.

“Ya, itu milik Arson,” jawabku.

Petugas itu lalu mencatat jawabanku.

“Di pisau cukur itu ada potongan-potongan atau serpihan-serpihan rambut – sama seperti yang kami temukan di kantong bajunya. Ternyata serpihan-serpihan rambut berukuran pendek itu berasal dari kumis dan janggut si pembunuh. Dari kumis dan janggutitulah kami bisa menelusuri pembunuh Renno,” si petugas menjelaskan.

Aku memperhatikan potongan-potongan kumis dan janggut yang berbentuk seperti titik-titik itu di mata pisau cukur Arson.

“Ini aneh, bocah ini meninggal lebih dari seminggu yang lalu…. Tetapi di kuku-kuku jari tangannya ada darah dan serpihan kulit tersangka,” dia melanjutkan.

“Menurut pemeriksaan kami, darah dan kulit tersebut baru melekat di kukunya sekitar dua atau tiga hari yang lalu,” katanya lagi – dengan wajah bingung.

Persis dengan waktu terbunuhnya Arson – batinku.

“Benar-benar aneh. Tidak masuk akal,” kata si petugas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ah, bodohnya aku! Sekarang kepingan-kepingan puzzle tersebut mulai menyatu. Rumah kami yang menjadi sasaran Renno, bandul kalung yang sama, pisau cukur yang diambilnya, hingga siulan Renno – lagu “Nearer, My God, to Thee” yang merupakan ring tone iPhone Arson.

Itu semua mengarah ke satu orang: Arson.

Karena Arson – yang menjadi tersangka, sudah tewas terbunuh maka kasus ini….

“Jika pelaku sudah meninggal tentunya kasus ini dianggap selesai,” kata si petugas polisi.

Aku terdiam.

Aku cuma bisa mengangguk.

“Orang tua korban juga sudah kami kabari dan mereka mau menerima,” katanya lagi.

********

Sejak Renno mendatangi rumahku, tidak pernah lagi terdengar siulan “Nearer, My God, to Thee” setiap tengah malam.

Malam ini, seperti biasanya, aku disibukkan dengan pekerjaanku memeriksa hasil kuis dan tugas para mahasiswa.

Terdengar bel pintu berbunyi. Aku melihat jam dinding di ruang tamuku. Jam setengah dua belas. Siapa yang datang malam-malam begini?

Aku lalu keluar dan menuju pagar rumahku. Kulihat seorang laki-laki berdiri di depan pagar itu.

“Ersan?” tanyanya begitu aku menghampirinya.

“Frandi?” aku balik bertanya – terkejut. Aku segera membuka gembok pagar dan mempersilakan dia masuk.

Frandi adalah rekan bisnis Arson. Aku mengenalnya sejak beberapa tahun lalu. Terus terang aku tidak menyukainya. Frandi bukan orang jujur dan dia adalah tipe orang yang mau melanggar hukum asalkan tujuannya tercapai. Menurutku dia itu licik. Waktu pemakaman Arson beberapa hari yang lalu pun dia tidak datang. Rekan bisnis… apanya yang rekan bisnis?

Namun Arson menyukai Frandi dan merasa cocok bekerja sama dengannya.

“Chemistry,” begitu alasan Arson ketika aku menanyakan perihal Frandi padanya.

“Aku mendengar apa yang terjadi pada Arson,” kata Frandi setelah dia duduk di sofa ruang tamuku. Seperti biasa, dia tidak sungkan-sungkan untuk mengambil minum sendiri – satu kaleng minuman ringan yang ada di kulkas.

Aku diam saja mendengarkan apa yang dikatakannya.

“Akhir-akhir ini aku sering bermimpi. Renno mendatangiku.”

Renno? Dia kenal Renno? Aku bingung.

“Renno? Siapa Renno?” aku bertanya – memancing.

“Aku takut sekali, San. Kulihat Renno marah sekali dan berteriak-teriak mengancam ingin membunuhku,” katanya.

“Kudengar... Arson mati tidak wajar di selnya, ya,” Frandi melanjutkan. Entah dia mendengar pertanyaanku atau tidak tetapi jelas-jelas dia mengabaikannya. Sudah wataknya begitu.

Aku diam – kutatap matanya. Frandi sepertinya tidak berbohong. Dia ketakutan.

Frandi kemudian mengaku bahwa dialah yang mencuri iPhone milik Renno dan membunuh bocah itu. Dia juga yang mengganti ring tone iPhone tersebut dengan lagu yang mengingatkan orang akan kematian. Frandi berhasil mengecoh Renno dan membuatnya mencurigai Arson sebagai orang yang membunuhnya. Frandi menitipkan iPhone itu pada Arson dan membolehkan Arson menggunakannya. Frandi menculik dan membunuh bocah itu karena orang tua Renno – yang pengusaha sukses itu, menolak bekerja sama dengannya.

Frandilah yang merekayasa itu semua.

Si keparat licik ini…

“Aku minta maaf. Aku tidak menyangka kalau Arson bakalan meninggal seperti ini,” katanya.

Aku terdiam.

Aku berusaha mengendalikan diriku. Aku marah sekali. Orang ini telah memfitnah Arson dan mengakibatkan kematiannya! Dan sekarang dia membuat pengakuan supaya aku mau memaafkannya!

Aku tidak tahu, aku belum bisa menjawabnya sekarang.

Dia mengaku kalau dia dikejar-kejar arwah penasaran Renno.

Dan dia ketakutan sekali. Mungkin itu alasan sebenarnya dia meminta maaf.

Dia takut bukannya menyesal.

Saat ini sudah menjelang tengah malam dan dia masih di sini. Di ruang tamuku. Dia terlihat lelah dan ketakutan.

Frandi terus berbicara sambil menangis.

Aku biarkan dia terus berbicara, menangis, menyesal, apa pun itu.

Apa pun yang dikatakan dan dilakukannya saat ini tidak bisa menghidupkan Arson kembali.

Aku memperhatikan manusia culas itu. Rasa-rasanya mati pun terlalu bagus untuknya.

Tiba-tiba aku melihat Spike mendongakkan kepalanya. Telinganya tegak seperti mendengarkan sesuatu. Lalu dengan terburu-buru Spike bersembunyi di bawah kursi tempat dudukku.

Sayup-sayup aku mendengar siulan lagu itu lagi…

Nearer, my God, to Thee, nearer to Thee!

E'en though it be a cross that raiseth me

Aku melirik Frandi yang sedang terisak-isak itu. Entah mengapa sepertinya dia tidak mendengar siulan itu.

Aku lalu bangkit berdiri menghampiri jendela. Aku menyibakkan gorden sedikit dan mengintip ke luar.

Astaga!

Ada Renno di sana!

Dia berdiri di depan pagar rumahku. Renno menatapku namun tak berapa lama dia menghilang.

Aku tercekat.

Aku menatap Frandi lalu melirik sekilas keluar jendela mencari-cari keberadaan Renno.

Samar-samar kulihat ada sosok anak kecil berdiri di depan pintu rumahku – tepat di samping jendela tempatku berdiri.

“Kamu tidak akan melaporkanku ke polisi?” tanya Frandi tiba-tiba.

Aku berbalik, menghadap Frandi, dan menatapnya.

“TIdak,” kataku perlahan.

T A M A T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun