Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Atlantis (10)

12 Desember 2014   17:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:27 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lorong ini gelap dan panjang. Kami menggunakan mobil listrik, golf car – jenis mobil yang biasa digunakan di lapangan golf untuk mengangkut pegolf dan perlengkapan mereka, tetapi mobil ini tidak dilengkapi dengan penutup atau atap. Kami menyusuri jalan yang panjang tersebut. Jalan berupa terowongan di bawah tanah yang menghubungkan bungker dengan beberapa jalan raya, tepatnya beberapa saluran air, di sekitar rumah Ayahku. Luas tanah rumah orangtuaku sekitar 10 hektar, jadi jalan yang berada di bawah tanah ini cukup panjang.

Aku meraba dadaku di bagian kiri. Kristal Atlantis telah kembali ditempatkan pada posisinya semula – di jantungku.

Aku melirik ke Sheva yang masih tertidur di belakang.

Aku teringat percakapanku dengan Pretty sebelumnya

“Kenapa kamu memilih Sheva?” tanyaku.

“Memangnya aku punya pilihan?” ia balik bertanya.

Aku terdiam. Alasannya memang masuk akal, Pretty pasti memilih orang yang berada di dekatnya saat itu. Orang yang pikirannya bisa ia pengaruhi.

“Kenapa?” ia kembali balik bertanya.

“Orang ini bisa menghancurkan bungker Ayah,” jawabku singkat.

“Maksudmu?”

“Aku memeriksa bawaannya. Ada pistol otomatis, senapan mesin ringan yang dapat digenggam dengan satu tangan, pisau komando, NVD (night vision device), 2 buah granat tangan, dan material eksplosif dengan daya ledak tinggi yang mampu menghancurkan beton dengan ketebalan sampai setengah meter. Sepertinya Sheva ini merupakan bagian dari pasukan antiteror. Pasukan tersebut juga memiliki keahlian intelijen dan penyusupan.”

Si keparat Yon rupanya benar-benar ingin meratakan rumah orangtuaku dengan tanah.

Aku memperlihatkan peralatan itu kepadanya.

Pretty melihatnya sekilas. Hanya sekilas. Entah ia tidak tertarik atau tidak memahami benda-benda tersebut.

“Kenapa Gideon tidak meledakkan saja bahan eksplosif itu? Untung-untungan kan, siapa tahu kita juga ikut meninggal,” katanya sambil terkekeh.

Tidak lucu sama sekali.

“Aku sudah mengecek, tidak ada sinyal telepon dari luar yang bisa sampai ke tempat ini,” kataku. Otomatis, pemicu detonator yang menggunakan sinyal ponsel dari jarak jauh (remote) tidak akan berfungsi. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan internet melalui serat optik.

“Ooh,” Pretty manggut-manggut. Padahal aku yakin ia sudah tahu. Pertanyaannya hanya guyonan belaka.

“Menurut simulasi yang kulakukan – jika Sheva memasang peledak di titik-titik yang tepat, bungker ini bisa ambruk.”

“Titik-titik yang tepat. Memangnya dia tahu lokasi titik-titik tersebut….”

Aku tersenyum dan menggeleng.

“Sepertinya tidak,” kataku.

“Kecuali kalau dia mempunyai penglihatan seorang cyborg yang mampu memindai ketebalan pondasi di sini serta bagian-bagian lain yang rapuh.”

Ya, Sheva bukan cyborg.

Kami sudah mendekati pintu keluarlorong tersebut. Mobil listrik segera kuparkir.

“Sebaiknya di mal nanti kita berjalan berjauhan,” kataku memberi saran sambil menurunkan kursi roda. Sheva kududukkan di kursi roda itu. Ia mengenakan jaket yang menutupi seragam militernya. Sepatu botnya sudah diganti dengan sandal plastik berwarna cerah. Wajahnya ditutupi dengan masker kain. Sepintas Sheva terlihat seperti anak laki-laki dengan potongan rambut pendeknya itu. Anak yang tampan.

Pretty melirik Sheva yang masih belum sadarkan diri itu.

Ia lalu mengangguk dan langsung mengenakan tudung jaketnya – menutupi kepalanya. Ia juga memakai kacamata.

“Aku cantik kan?” tanyanya.

Aku terdiam. Entah apa maksud pertanyaan itu. Serius atau bercanda?

“Cantik,” jawabku datar.

Ia tertawa senang.

“Tapi Sheva lebih cantik,” kataku – kali ini sambil tersenyum.

Pretty menatap tajam ke arahku – walaupun masih tertawa.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku terangkat ke atas, melayang. Kira-kira setengah meter dari tempatku berpijak tadi.

“Hei!” teriakku.

“Aku bisa melemparmu, lho,” katanya tersenyum – mengancam.

“Bukannya sudah kau lakukan, ya?” tanyaku – retorik, sambil tangan kananku menunjuk ke atas.

Ia langsung tertawa lagi – bukan tertawa senang pastinya.

“Oh, iya, ya. Ha ha ha ha ha.”

Tiba-tiba aku terhempas ke bawah. Ia telah menghilangkan kekuatan telekinesisnya padaku.

Ia tentu ingat lemparan sejauh beberapa puluh meter yang dilakukannya padaku. Lemparan yang langsung merusak sistem mekanis serta mengacaukan sumber energiku. Manusia biasa pasti sudah tewas jika dilempar seperti itu.

Dengan menggunakan taksi, kami sampai di mal – tempat aku dan Pretty akan meninggalkan Sheva. Tentunya kami tidak bermaksud jahat. Sheva akan baik-baik saja walaupun perlengkapan tempurnya kutinggal di bungker Ayahku. Biarpun ditinggal di sarang penyamun sekalipun, seorang prajurit elite sepertinya akan baik-baik saja.

Aku mendorong kursi roda. Sheva yang duduk di atasnya. Kamuflase yang sempurna untuk membawa orang pingsan ke tempat-tempat umum termasuk mal.

Begitu turun dari taksi dan menuju lobi mal, aku tertegun. Bagian pemeriksaan dengan gerbang pendeteksi logam berada di depan pintu masuk lobi.

Seseorang yang menggunakan pen tertanam di tulangnya pun tidak akan luput dari detektor logam itu – apalagi cyborg yang hampir seluruh kerangkanya berupa logam.

How could I miss that one?

“Let me handle it,” kata Pretty. Ikut-ikutan berbahasa Inggris – orang ini selalu saja membaca pikiranku!

Lalu ia membiarkanku mendorong Sheva. Ia sendiri langsung menuju ke petugas bagian pemeriksa pengunjung itu. Ia mengatakan sesuatu sambil menunjuk ke arahku.

Aku memandang si petugas sambil tersenyum.

Ternyata si petugas langsung mengarahkanku ke pintu di sebelahnya.

“Silakan lewat sini, Pak,” katanya.

Rupanya ia melihat kursi roda yang kudorong itu. Pretty yang menginformasikan itu kepadanya.

Kursi roda memang tidak muat jika harus melalui gerbang pendeteksi logam itu.

Sesudah masuk ke dalam mal, Pretty memperlambat langkahnya. Ia kini berjalan kurang lebih sepuluh meter di belakangku.

Aku bergegas ke luar pintu samping mal menuju ke taman. Aku memindai sekelilingku mencari benda optik – seperti kamera CCTV.

Taman ini aman. Belum banyak pengunjung yang datang. Letak kamera CCTV pun terlalu jauh. Bahkan tertutup pepohonan di dekat tempatku berdiri. Sepertinya kamera tersebut sudah dipasang di sana sebelum pohon-pohon ini setinggi sekarang.

Aku lalu mengarahkan kursi roda itu di dekat salah satu kursi taman dan segera meninggalkannya di sana.

She’ll be alright.

“3 menit lagi ia akan sadar,” aku mendengar suara Pretty – rupanya ia menggunakan telepati untuk berbicara padaku..

Aku segera kembali menuju bagian dalam mal.

Aku mencari-cari Pretty. Sepertinya tadi ia berada di belakangku.

“Pak Efran,” seseorang memanggilku.

Aku menoleh ke arah asal suara itu.

“Ya,” sahutku.

Seseorang berdiri di belakangku.

Do I know him? Rasa-rasanya aku tidak mengenalnya.

Dia tinggi, besar, bertubuh tegap, berambut pendek potongan militer …

Tunggu, sepertinya aku pernah melihatnya entah di mana. Segera kuaktifkan sistem pencarian data dengan menggunakan image wajah orang tersebut.

Dapat! Hanya dalam waktu 0,3 detik.

Foto orang itu kudapatkan di …. rekaman CCTV ruang kerja Ayahku – dia salah seorang pasukan yang menyusup itu! Dia prajurit elite anak buah Yon!

Mau apa dia di tempat seperti ini? Apa ia terus menguntitku? Mengapa ia menggunakan seragam petugas sekuriti mal? Kubaca nama yang tertera di dadanya – Ardito.

Aku terdiam, berusaha tenang.

“Ada apa?” tanyaku sambil menatapnya.

Kupindai wajahnya.

Celaka, dia cyborg! Aku melihat tengkorak yang terbuat dari bahan keramik komposit dengan campuran logam, bukan seperti bahan pembentuk jaringan tulang alami.

Dia tersenyum. Menyeringai menyeramkan.

Aku bersiap siaga. Aku berusaha mendeteksi keberadaan rekan-rekan si Ardito ini – jika mereka ada di mal ini juga.

Tiba-tiba, tanpa bisa kuduga, lututnya menghantam kaki kananku – di bagian bawah paha. Tempurung kakiku dibuat bergeser, aku langsung jatuh terduduk. Saat itulah ia menginjak telapak kaki kiriku. Krak! Patah. Pergelangan kakiku patah.

Praktis aku tidak bisa bangkit berdiri.

Prajurit elite seperti dia bisa membunuh orang tanpa menggunakan senjata!

Orang-orang tampak memperhatikan kami, tetapi tak seorang pun datang mendekat.

Aku seperti seorang kriminal yang tertangkap petugas keamanan mal.

Saat itulah aku melihat Pretty. Ia berlari menghindar – menjauh.

(Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun