Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Atlantis (22)

13 Februari 2015   20:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pemerintah menyatakan hari ini sebagai hari berkabung nasional. Rakyat NKRI di seluruh wilayah nusantara diminta untuk mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.”

Demikian pengumuman resmi pemerintah yang disiarkan di berbagai media massa beberapa hari yang lalu.

Aku menyimak pengumuman itu melalui jaringan yang terpasang di otakku dan terproyeksikan di mataku.

Wafatnya Kepala Negara Republik ini ketika beliau masih aktif bertugas merupakan yang pertama kalinya terjadi. Aku masih merasa seperti orang yang baru terbangun dari tidur lelapku.

Presiden meninggal di depan mataku.

Dan aku merupakan tersangka utama pembunuhnya – pembunuh Presiden Farhad Prayogo.

Hari ini wakil presiden direncanakan akan mengambil alih jabatan kepala negara.

“Kamu sudah siap?” tanya Pretty – yang ketiga. Entah bagaimana perasaannya setelah mengalami kematian untuk kedua kalinya itu.

“Ready when you are,” jawabku.

“Ayo,” katanya lagi sambil bergegas ke luar.

Dia mengangguk ke arah Sheva yang dengan sigap balas mengangguk lalu kembali berdiri tegak.

Rupanya kali ini Sheva tidak diajak. Apa dia lupa kalau Sheva yang membelanya habis-habisan ketika dirinya yang lain, Pretty kedua, diserang oleh military drone? Kali ini dia terlalu yakin… atau ceroboh?

Aku tahu mereka, Pretty yang pertama, kedua, dan yang sekarang ini – ketiga, memiliki sifat yang berbeda.

“Kamu yakin Sheva tidak perlu ikut?” tanyaku.

Dia cuma mengangkat bahunya lalu tersenyum.

Tidak jelas. Sama sekali tidak jelas apa maksudnya.

Aku menuruti saja apa kemauannya. Mungkin dia takut kalau ada yang mengenali Sheva di sana.

Sepanjang perjalanan menuju Istana Negara, tempat dilangsungkannya pelantikan tersebut, kami berbincang-bincang untuk menghilangkan ketegangan. Ya, kami berdua akan menghabisi semua pejabat yang hadir pada acara tersebut.

Kepalang tanggung – pikirku, walaupun sebenarnya aku berpendapat Ayah tidak mungkin berniat seperti ini. Menggulingkan pemerintahan yang sah merupakan makar. Ayah yang merupakan aktivis saat masih berkuliah di ITB dulu, tentunya memahami bahwa perjuangan mahasiswa adalah demi tegaknya keadilan dan membela kepentingan rakyat kecil. Walaupun banyak teman-teman seperjuangan Ayah yang telah berubah ketika mereka menjadi pengusaha atau birokrat – korup dan hipokrit, Ayah tetap konsisten terhadap pemikirannya - idealismenya.

“Negara membutuhkan Kristal Atlantis itu,” kata Pretty saat kami sudah berada dalam mobil.

Heh? Kata-katanya seperti seorang aparat - negara digunakan sebagai kata ganti orang. Tanpa sadar aku meraba dadaku di bagian jantung – tempat kristal itu berada.

“Walaupun Indonesia telah memiliki kemampuan untuk membuat senjata nuklir. Kristal Atlantis tetap dibutuhkan. Sebenarnya negara menginginkan teknologi biodroid atau manusia buatan. Kemampuan manusia – kecerdasan, keahlian, dan sebagainya itu merupakan hal yang sangat berharga. Jika manusia mati, maka apa yang ada di otaknya itu akan lenyap. Sebaliknya, jika hidup bisa terus berlanjut maka ilmu itu tidak akan hilang. Bayangkan jika sampai saat ini Einstein masih hidup, mungkin manusia sudah mampu melakukan perjalanan antariksa dengan menggunakan mesin warp atau semacamnya itu. Idealnya seperti itu.”

Replika. Biodroid bisa mereplikasi diri mereka, kecerdasan dan keahlian bisa dialihkan dari satu replika ke replika lainnya. Sama seperti Pretty. Secara garis besar bisa dikatakan biodroid dan replikanya merupakan makhluk immortal.

“Kristal Atlantis mampu melakukannya,” katanya lagi.

“Maksudmu?”

“Ya, kami mampu pergi ke mana pun kami mau. Kami bahkan bisa menembus ruang dan waktu.”

Persis seperti yang telah diceritakannya. Kejadian yang terpampang jelas di depan mataku – seolah-olah aku ada di sana waktu itu.

“Pergi ke mana pun?” tanyaku.

“Ya.”

“Kau bisa pergi ke Mars atau Jupiter?” tanyaku mengodanya.

“Tentu.”

Pembicaraan kami menjadi lebih ringan – lebih cocok untuk mengendurkan sarafku.

“Berapa lama perjalanan menuju tempat itu?”

“Hm? Yang mana?” tanyanya.

“Mars. Berapa lama perjalanan ke sana?” tanyaku lagi.

“Berapa lama kamu berpikir tentang Mars?”

Aku berpikir sejenak – berusaha mencerna pertanyaannya.

“Satu detik – tidak, setengah detik,” jawabku.

Pretty tersenyum.

“Itulah waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke Mars.”

Aku terkejut. Aku tahu Atalan mempunyai kemampuan teleportasi, tetapi sampai sehebat itu?

“Serius?” tanyaku.

Pretty kembali tersenyum.

“Kekuatan pikiran,” katanya menjelaskan.

Sehebat itukah? Berarti ketika mereka menuju ke awal dari segalanya, ke waktu di mana alam semesta pertama kali diciptakan itu, mereka membutuhkan waktu... sedetik?

“Asalkan kami berhasil memetakannya secara tepat, persoalan waktu hanyalah…”

Pretty tidak melanjutkan, dia hanya menjentikan jarinya – ibu jari dan telunjuk, menimbulkan bunyi,”Klap!”

Sepele. Itu maksudnya.

Aku terdiam. Topik pembicaraan kembali menjadi berat.

“Efran, waktu hanyalah berlaku di dimensi kita ini. Kita hanya mengenal beberapa dimensi. Tetapi ada banyak makhluk yang berada di luar nalar kita. Mereka berada di dimensi lain yang bahkan tidak terjangkau oleh pikiran kita. Waktu bagi mereka tidak ada artinya.”

“Mereka bisa berpindah-pindah waktu sama seperti kita berpindah-pindah tempat,” kataku – berpendapat mengenai makhluk “hebat” itu.

“Persis!” Pretty tertawa kecil.

Kita mengenal dunia berdasarkan apa yang kita tahu. Berdasarkan pengalaman dari apa yang kita pelajari. Alam molekuler beserta kehidupan mikro di dalamnya mungkin menganggap bumi ini seperti sebuah galaksi. Sedangkan kenyataannya, galaksi bukan merupakan alam semesta – tetapi bagian dari alam semesta itu. Kita mengenal banyak galaksi. Galaksi ada yang terdiri dari ribuan bintang, ada juga yang terdiri dari triliunan bintang atau triliunan tata surya. Alam semesta memiliki lebih dari seratus miliar galaksi. Berapa luas alam semesta ini sebenarnya? Berapa umurnya?

“Nah, kamu rupanya sudah mulai kebingungan sendiri,” Pretty masih terus tertawa.

Aku ikut tertawa.

Akhirnya kami tiba di Istana Negara.

Aku dan Pretty berjalan dari tempat parkir yang berada di luar kompleks istana. Kami berusaha untuk tetap tenang dan berjalan dengan santai.

“Kancing jasmu,” katanya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Cukup satu saja, kancing bagian atas saja yang dikancingkan,” kata Pretty.

“Kenapa?” tanyaku lagi. Aku memang mengancingkan kedua kancing jasku.

“Ya, ketentuannya begitu.”

“Biar saja,” kataku. “Lagi pula, kenapa harus ada dua kancing kalau yang perlu dikancingkan hanya satu? Aneh.”

“Terserah kamu, deh,” katanya lagi sambil tertawa kecil.

“Yang penting kan rapi,” kataku. Apalagi dalam posisi berjalan seperti ini, pasti ujung dasiku akan terlihat ke mana-mana – kalau aku cuma mengancingkan satu saja. Dalam hal ini aku lebih memilih prosedur yang baik ketimbang prosedur yang benar tetapi hasilnya mengecewakan.

Aku mengamati para penjaga yang ada di depan pintu masuk gedung.

“Ada cyborg di antara mereka,” kataku setelah melakukan pemindaian.

Pretty mengangguk. “Yang sebelah kanan – yang badannya paling kecil,” katanya lagi.

“Kok tahu?” tanyaku – heran.

Dia tersenyum lalu menunjuk samping dahinya.

Rupanya dia membaca pikiranku dan melihat hasil pemindaian yang kulakukan.

Saat itu kami berdua dalam penyamaran. Aku memotong pendek rambutku, berkacamata dan memakai kumis palsu. Pretty mengenakan wig pirang bergaya bob. Dia menggunakan selotip pada bagian matanya membuat matanya terlihat lebih sipit. Dia terlihat cantik seperti karakter anime. Di undangan kami berdua terdaftar sebagai perwakilan salah satu grup konglomerat yang dulu membantu dana kampanye Presiden Farhad Prayogo. Entah dari mana Pretty bisa mendapatkan undangan itu

Ketika tiba di tempat pemeriksaan tamu, aku berusaha untuk tetap tenang walaupun aku tahu detektor logam itu akan berbunyi saat memindai tubuhku. Pretty belum mau menggunakan kekuatan telekinesisnya saat ini.

Benar saja, mereka terkejut ketika memeriksa tubuhku. Alat pendeteksi logam itu berbunyi.

“Pen,” kataku sambil tersenyum. “Saya pernah kecelakaan. Tulang tangan dan kaki saya banyak yang ditanam pen baja,” kataku lagi.

Si penjaga akhirnya tersenyum dan mempersilakan kami masuk ke dalam gedung.

Aku melirik ke posisi cyborg itu berdiri. Cyborg itu menatapku dengan curiga.

Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum padanya.

Si cyborg balas menganggukkan kepala – tanpa senyum. Masih curiga rupanya.

Kami tiba di ruangan itu kurang lebih satu jam sebelum upacara pelantikan presiden dilaksanakan. Demi keamanan dan sesuai dengan protokoler istana, para tamu dan undangan diminta datang paling lambat satu jam sebelum acara dimulai.

Aku berusaha mencari wakil presiden atau lebih tepatnya calon presiden republik ini. Tokoh ini jarang terlihat oleh publik. Gosip yang beredar menyebutkan beliau adalah orang asing. Aku sepertinya melihat sosok yang familiar pada wakil presiden. Foto Presiden dan Wakil Presiden adalah hal yang selalu ada di setiap gedung pemerintahan, sekolah, dan lain sebagainya. Tetapi aku masih belum bisa menemukan apa yang membuat wajahnya familiar bagiku.

Masih empat puluh menit lagi sebelum acara dimulai.

“No…” kataku. Jantungku berdetak keras.

Pretty menoleh ke arahku.

“What?” tanyanya keheranan melihat mimikku.

“It can’t be,” kataku lagi.

Pretty menoleh ke arah pandangan mataku.

“Mr. Vice President?” tanyanya kebingungan – sambil menatap sosok yang kulihat.

Aku masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutku. Kini aku mengetahui apa yang familiar pada wajah orang itu.

“What’s wrong?” tanyanya lagi.

Aku menarik tangannya menjauhi kerumunan.

“Orang itu…” bisikku gugup.

“Ya?”

“Orang itu alien! Wapres kita adalah pilot UFO itu – yang beberapa tahun lalu mendarat dan terbakar,” kataku perlahan. “Bukankah ia telah mati? Aku melihatnya – tubuhnya hancur terbakar menjadi debu.”

Tatapan mata Pretty berubah.

“Ternyata kamu ingat, ya, Efran,” katanya cemas.

“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.

“Seharusnya ini tidak bisa terjadi. Tidak boleh terjadi,” kata Pretty. Dia sepertinya khawatir.

“Apanya?” aku jadi tambah bingung.

“Maaf, aku harus pergi,” katanya lagi bergegas meninggalkanku.

“Pretty!” panggilku.

Saat itu aku merasa ada orang yang memperhatikan kami. Aku menoleh ke belakang. Aku melihatnya. Wakil Presiden sedang menatapku. Pandangan matanya tajam.

Tiba-tiba…

“Tangkap dia! Dia adalah cyborg yang membunuh Presiden Farhad Prayogo!” Wakil presiden berteriak sambil menunjuk ke arahku.

Aku terperanjat.

Sementara Pretty sudah pergi menjauhiku. Dia langsung menyelinap dan lenyap di antara kerumunan orang-orang di sana.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun