Mohon tunggu...
Rizqi Maulana
Rizqi Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar mengubah rangkaian pikiran menjadi kata-kata

I talk (to myself) a lot

Selanjutnya

Tutup

Film

La Luna: Cuplikan tentang Ketakutan akan Perubahan

5 April 2024   15:00 Diperbarui: 5 April 2024   15:08 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah terdengar review bagusnya dari akhir tahun 2023, tapi baru sempat nonton di Februari 2024. Itu pun setelah  film ini tayang di Netflix. Semua review itu ternyata benar adanya. Pengalaman nonton La Luna merupakan angin segar buat saya yang buta dengan film-film dari Malaysia. Tapi, ada juga poin-poin seru dari La Luna yang bisa diterapkan oleh kita di dunia nyata.

Singkat cerita, La Luna bercerita tentang kehidupan di Kampong Bras Basah yang memiliki hukum agama yang mengikat dari sosok bernama Tok Hassan. Laki-laki dan perempuan diberi jarak di tempat umum, khutbah di masjid disensor, hingga foto perempuan di majalah "diedit" dengan spidol untuk menutupi rambutnya. Hidup masyarakatnya bisa dibilang ada dalam status quo dan tidak ada tanda-tanda akan berubah.

Sampailah pada adegan di mana sumber perubahan itu datang. Namanya Hanie, pendatang dari luar Kampong Bras Basah yang kembali untuk merenovasi rumah kakeknya dan menjadikannya toko lingerie bernama La Luna. Toko Lingerie...di kampung konservatif. Ya, jadi dinamika La Luna berasal dari benturan dua pandangan tersebut. Pandangan kolot diadu dengan padangan moderen.

Cerita lengkapnya bisa disaksikan sendiri di Netflix. Tapi salah satu poin kontras yang menarik perhatian saya adalah: banyak dari kita yang takut sama perubahan walaupun hidup dalam status quo tidak membebaskan. 

Kehidupan orang-orang di Kampong Bras Basah, terutama para perempuan cenderung dibatasi karena alasan religi. Kebebasan bersuara disetop murni karena keputusan Tok Hassan sendiri. Masyarakatnya sadar kalau itu salah? Sadar sih. Tapi tidak ada yang berani berubah sampai Hanie datang.

Sumber: VOI
Sumber: VOI
Di dalam film, masih banyak dinamika yang akan kita saksikan: dinamika ayah-anak; suami-istri; pempimpin-masyarakat; KDRT; dan kejujuran. Tapi menurut saya intinya sama: ada keinginan perubahan, tapi belum ada yang berani berubah.

Serunya La Luna adalah, dia berhasil menampilkan adegan perubahan para penduduk perempuan dengan cukup runut dan tepat guna. Walaupun penggambarannya "nakal" tapi pesannya masih tersampaikan dengan baik. Mungkin sebagian orang merasa ini ekstrem, tapi di dunia nyata ternyata ada kondisi demikian.

Selain itu, secara tidak langsung La Luna memberikan cuplikan tentang masyarakat yang ingin ada perubahan tapi takut mulai berubah. Dinamika di La Luna juga banyak menujukkan betapa gemasnya orang-orang (terutama perempuan) akan kekolotan aturan di Kampong Bras Basah. Tapi, mereka tidak bisa apa-apa karena final say-nya ada di Tok Hassan. Hanie hadir dan menjadi trailblazer hingga akhirnya perubahan-perubahan perlahan muncul.

All in all, La Luna sebenarnya bisa menjadi tontonan "ringan" untuk isu yang sangat kompleks. Penggambarannya yang komedik dan nakal tidak begitu mengubah makna pesan yang disampaikan. Sehingga bagi orang-orang yang kesulitan mencerna pesan kompleks dan berat tidak akan menemukan masalah (semoga yaa.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun