Â
Kontemplasi (n.) : renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh
Â
Kegagalan Messi bersama Timnas Argentina (untuk ke sekian kalinya) di Copa America 2015 akan menjadi sebuah kontemplasi. Perenungan bagi dirinya sendiri dan seluruh warga sepakbola dunia.
Untuk tim semewah Argentina – dengan lini depan yang dapat membuat fans timnas Brazil menangis kala hanya melihat Diego Tardelli di pos striker mereka – seharusnya mencetak banyak gol adalah sebuah rutinitas. Sebuah jaminan akan raihan trofi yang terakhir kali mereka rengkuh pada Copa America 1993. Namun nyatanya, Messi harus menyadari bahwa performa bombastis di level klub tidak semudah itu ditularkan ke level Timnas. Messi seperti mulai dari nol lagi. Argentina (baca : Messi) sulit mencetak gol.
Harapan itu sempat ada ketika di 45 menit pertama melawan Paraguay, Argentina unggul 2 gol dan Messi mencetak salah satunya (iya, saya tahu itu hanya penalti dan pertandingan harus berakhir imbang). Ketidaksinkronan Messi dengan Argentina akhirnya tampak juga di tiga pertandingan selanjutnya. Versus Uruguay dan Jamaika (iya jamaika, mungkin anda lebih kenal Bob Marley daripada sepakbola negara ini) Argentina hanya mampu menang 1-0. Foto-foto Selfie dari para punggawa Reggae Boys dengan Messi mungkin lebih layak terpampang di halaman depan koran olahraga ketimbang pertandingan itu sendiri.
Quarter-final melawan Kolombia, Messi dan kolega tak bisa berbuat apa-apa dan perbedaan kedua tim harus ditentukan lewat adu tendangan penalti. Argentina lolos via tembakan terakhir Carlos Tevez. Namun Messi kembali dihujat. Sang protagonis utama kembali gagal mencetak gol.
Semifinal kontra Paraguay, musuh yang sama seperti di fase grup. Argentina menang besar 6-1! Publik bergejolak. Walau mereka tahu tak ada nama Messi di daftar pencetak gol. Tapi itu termaafkan karena Messi mampu menampilkan permainan luar bisa. Memimpin armada serang Argentina dan mengkreasi beberapa gol (dan membuat dua pemain Paraguay mendapat perawatan medis).
------
Final, menghadapi sang tuan rumah Chile. Trauma kegagalan di Maracana setahun lalu sempat mengemuka. Namun tak cukup kuat untuk menyembunyikan betapa diunggulkannya Argentina. (Beberapa Cules sudah menyiapkan khotbah paling dahsyat untuk menyudahi duel legendaris bertajuk Siapa-yang-lebih-hebat-Messi-atau-Ronaldo?).
Tapi takdir berkata lain. Chile benar-benar memanfaatkan perannya sebagai tuan rumah dalam turnamen kali ini. Sangat tipikal tim tuan rumah. Dukungan puluhan ribu suporter, sedikit keberpihakan wasit dan ditambah acting memukau Gonzalo Jara memudahkan La Roja melaju sampai partai puncak menantang Argentina.