Lantunan pekikan suara takbir terdengar di sepenjuru kota ku. Malam ini merupakan malam yang sakral bagi penganut agama tertentu. Ya malam takbiran yang sukacita, menafsirkan kemenangan dalam peribadatan. Anak-anak berlarian, suara-suara serak remaja yang dengan semangatnya memekikan takbir, maupun para sesepuh yang mulai susah berjalan tapi dengan bangganya tetap mempersiapkan rumah ibadah dalam rangka menyambut hari raya besar. Suasana malam itu sangat megah dan bergairah, semua orang bahagia, semua orang tertawa. Namun di sebuah tempat jauh nan terpelosok, terlihatlah seorang anak kecil, tidak terlalu kecil sehingga ia bisa mengurus dirinya sendiri, memiliki sorot mata yang tajam, tetapi berbadan ringkih.
Anak kecil itu bernama Faisal. Faisal merupakan seorang anak yatim piatu, dia tinggal bersama neneknya di sebuah pemukiman kumuh. Bapaknya merupakan seorang bajingan yang tidak bertanggung jawab atas ibunya, dan ibunya tidak jauh lebih baik dari bapaknya, setelah ia melahirkan Faisal ia menitipkannya kepada ibunya yang merupakan nenek Faisal, dan pergi. Ya dia pergi meninggalkan Faisal sendirian, tanpa memberinya kasih sayang, tanpa memberinya nafkah, dan bahkan tanpa memberinya nama. Faisal sudah tahu betul bahwa hidup ini perjuangan, sejak kecil dia sudah terlalu pintar untuk tidak menanyakan, "mengapa saya dilahirkan." Hal-hal yang sebetulnya dapat dikatakan miris, untuk anak sebayanya yang seharusnya sedang asik bermain, dapat berpemikiran seperti itu.
Malam itu Faisal pergi ke rumah peribadatan, untuk mengharapkan zakat tentunya. Faisal harus melewati jalan yang sangat panjang untuk mencapai tujuannya tersebut, bahkan pada tahun-tahun sebelumnya seringkali Faisal datang setelah semua zakat habis dibagikan, melihat hal ini Faisal hanya dapat mengelus perutnya seraya pulang dengan tangan kosong. Maka dari itu kini Faisal berangkat lebih awal, ia ingin meringankan beban neneknya, satu-satunya manusia yang dia kasihi. Saat dalam perjalanan, Faisal tidak pernah melihat sekelilingnya, pikirannya hanya tertuju pada satu hal, yakni mendapatkan zakat dan tidak kelaparan pada hari raya esok hari. Akhirnya ia sampai di tempat tujuannya.
Tempat yang sangat besar. Tempat itu terdiri dari halaman yang seluas lapangan sepak bola, ruangan-ruangan tertutup dengan penyejuk udara, dan empat buah Menara yang mengelilinya searah mata angin. Ia lalu bergegas menuju sebuah bangunan berspanduk tempat penerimaan zakat. Di sana Ia melihat banyak sekumpulan orang yang senasib dengannya. Semuanya memiliki pandangan mata yang sama, yakni pandangan yang mengamini bahwa mereka dapat merayakan kemenangan pada hari raya esok hari.
"Antre, antre! Tolong antre yang tertib." Ujar mas-mas berbaju koko putih di depan, jelas sekali dia merupakan seorang yang bertanggung jawab dengan pembagian zakat. Tampak tercantum lencana di dada sebelah kirinya bertuliskan badan amil zakat.
Antrean pun bermulai, dengan rentang waktu yang bervariasi, ada yang baru masuk langsung keluar lagi dengan membawa berbagai macam sembako yang telah didonasikan umat. Ada yang lama tetapi tetap keluar dengan membawa sembako, pada intinya semua yang keluar selalu dalam keadaan tangan yang penuh.
Tiba giliran Faisal untuk maju, ketika berhadapan dengan petugas tersebut dia hanya diam terpaku, sampai mereka berdua bertatap-tatapan, Faisal lalu mengalihkan pandangannya ke setumpuk karung beras dipojokkan ruang tersebut.
Petugas itu lalu berkata, "Mana wali mu Nak? Tidak mungkinkan kau datang ke mari sendirian?"
"Aku sendirian, waliku sudah tua, sedangkan jarak rumah ku ke sini sangat jauh, aku khawatir dengan kesehatannya." Jawab Faisal.
"Jika begitu keadaanmu maka baiklah, mana kupon mu? Kau tau kan bahwa tidak mungkin mendapatkan zakat tanpanya." Ucap petugas itu.
"Kupon? Aku tidak memilikinya. Tolonglah Pak, aku dan nenekku merupakan orang yang miskin, Kami taat berpuasa selama 30 hari penuh, sedangkan kami juga perlu bekerja untuk makan sehari-hari." Jawab Faisal lagi, selama ini dia tidak pernah diajarkan untuk meminta, tetapi hanya untuk hari ini, hanya untuk hari raya esok hari dia rela menghempaskan ideologi yang dianutnya. Hanya untuk memastikan bahwa neneknya dapat merasakan hari kemenangan yang sesungguhnya.