Berjam-jam saya menatap lembar di microsoft word yang cuma berhasil diisi dengan 150-an kata. Saya sudah mengumpulkan informasi dari sana-sini, sudah membuat kerangka tulisan, dan tahu apa saja yang akan saya tulis.
Semestinya fondasi itu cukup untuk merampungkan tulisan baru. Semestinya. Tetapi saya kehilangan energi, bak disedot sampai ke sumsum terdalamnya.
Saya melirik satu-satunya sticky notes yang sengaja saya tempel di dekat meja kerja. Tertulis: 'Mindfulness'. Itu saja.
Sticky notes itu saya tempel beberapa bulan silam pasca merasa kelelahan secara mental. Niatnya sebagai pengingat untuk diri sendiri kalau sedang mengerjakan apa pun di atas meja.
Sayangnya, ia tetap berakhir jadi secarik kertas penghias belaka sebab pekan-pekan selanjutnya saya masih abai terhadap kesehatan diri sendiri hingga rasa lelah itu kembali muncul belakangan.
Wejangan seorang teman beberapa bulan yang lalu itu saya ingat-ingat kembali. Saya melengos saat dia nyebut 'durasi-kerja-selama-2-sampai-3-jam-aja'.
"I'm not a boss. Aku gak punya privilese seperti kamu," sahutku cepat-cepat. Saya jadi agak dongkol, wejangannya kelewat to the point tanpa melihat kondisi saya secara utuh. Meski saya tak menyangkal, ucapannya mengandung kebenaran.
"Ya udah, minimal susun ulang satu per satu rutinitas harianmu. Semacam bikin schedule. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dari kerja sampai tugas-tugas kecil apa yang harus kamu kerjain. Inget ya, satu per satu," kata teman saya melanjutkan. Saya mengiyakan, wejangan yang ini cukup masuk akal.
Besoknya, pasca wejangan itu, saya langsung membersihkan dan merapikan kamar tidur (sepaket dengan meja kerja), berusaha puasa gadget dan internet, memikirkan ulang tugas apa yang seharusnya dikerjakan terlebih dahulu, dan menempel sticky notes bertuliskan kata 'mindfulness' di dekat meja kerja--yang belakangan baru saya sadari, saya tak benar-benar menghayati apa itu mindfulness.
Baca juga: Nomadland: Lanskap Puisi Para Pengembara