Beberapa waktu lalu, saya baru menonton film Little Forest, baik yang versi Jepang (2014 dan 2015) maupun versi Korea (2018). Mungkin agak telat, mengingat film ini yang dalam versi Korea sudah mencapai titik popularitasnya pada tahun lalu. Little Forest segera menghangat terutama di kalangan pecinta Korea karena diperankan oleh aktor-aktor yang tengah populer.
Saya menarik satu simpulan umum dari film ini: siapapun pasti setuju pada keindahan adegan-adegan memasak yang disorot detail, bersambut dengan sajian ciamik aneka makanan yang membuat kita lapar dan ngiler, bahkan akhirnya latah untuk ikutan memasak. Dari sini, tentu tidaklah sulit menemukan ulasan-ulasan yang memanfaatkan point of interest tersebut. Bisa dikatakan, ceruk perbincangan itu sudah khatam digali.


Saya menarik satu benang merah: baik Little Forest maupun Only Yesterday sama-sama menukil narasi tentang kehidupan pertanian di desa.
Inti ceritanya: seorang perempuan dari kota yang "melarikan diri" untuk mencari makna dari kehidupan di pedesaan. Di sisi yang lain, muncul peran penting tokoh laki-laki yang memberi stimulus keyakinan pada si perempuan tentang pemerolehan makna-makna itu. Tokoh laki-laki ini semula bekerja kantoran di kota, namun pada akhirnya memilih hidup di desa sebagai petani. Alasannya? Untuk meraih kebebasan.
Kedua film ini----atau 'ketiga'? Sebab Little Forest ada dua versi. Ya, anggaplah dua versi itu sama saja----justru lebih keras menampar saya pada problem-problem keterasingan manusia kota. Alurnya memang simpel dan tak perlu banyak mikir, apalagi dalam Little Forest yang membawa kesan pada pengalaman self-healing, meninggalkan kesan sejuk dan menenangkan bagi pikiran setelah menontonnya.
Patut diakui bahwa kekuatan Little Forest terletak pada daya visualnya yang sinematik, terutama yang versi Korea. Sementara Only Yesterday, saya menyukainya lebih karena "pesan-pesan filosofis nan terselubung" di dalamnya.Â

Alih-alih menampilkan permasalahan alienasi itu sendiri ke dalam frame cerita, Little Forest dan Only Yesterday justru menjadi antitesisnya. Mungkin kedua film ini bisa disebut sebagai film yang anti-urbanisme----terminologi ini terbetik begitu saja di kepala saya dan sejujurnya saya belum mempelajari apa itu anti-urbanisme, entah tepat entah tidak penyematan istilah ini, tetapi semoga tepat, hahaha.
Sederhananya, saya merasa Little Forest dan Only Yesterday ini ingin menyindir pada tatanan hidup urbanisme tanpa menampilkan visualisasi utuh dari wajah kota itu sendiri. Keduanya lebih suka bermain dan bergumul pada visualisasi pedesaan yang hijau nan asri.
Tokoh perempuan dalam Only Yesterday, Taeko, merupakan representasi orang kota tulen; ia tumbuh-besar di kota dan tidak pernah mengalami seperti apa rasanya "pulang kampung" itu. Maka ketika ada kesempatan cuti dari pekerjaannya, meskipun hanya sepuluh hari, ia lebih memilih pergi ke desa alih-alih berlibur ke luar negeri.
Taeko memperoleh pengalaman berharga selama di desa, ia menciptakan kontak langsung dengan "jantungnya" pedesaan, yaitu dengan menjadi seorang petani meskipun amatiran.
