Caramu menyakitiku, itu yang ku sesali.
Mungkin engkau tak pernah tahu,
betapa ini sangat melukaiku, sampai detik ini.
Engkau lebih memilih mengatakannya kepada semua orang,
daripada membicarakannya denganku.
Ku kira, engkau ingin berbagi cerita. Maka ku pinjamkan kupingku untukmu.
Ku kira, engkau ingin menumpahkan segala gundahmu. Maka ku pinjamkan lenganku untukmu.
Ku kira, engkau ingin di pahami. Maka ku korbankan perasaanku untukmu.
Ku kira, engkau ingin di temani. Maka ku berikan waktuku untukmu.
Ku kira, engkau menghargai semua upayaku. Nyatanya, semua tak ada artinya untukmu.
Di matamu, aku bagaikan sampah yang seharusnya di buang jauh-jauh.
Kita pernah bersama, apakah itu sebuah dusta..?
Kitapun pernah melebur..
Apakah itu hanya sebuah permainan tanpa rasa…?
Kita melewati malam demi malam, bahkan ketika seharusnya engkau tak bersamaku di satu malam di akhir Mei.
Dan aku marah karenanya, serta selalu merasa bersalah.
Aku hanya menginginkan kebahagiaanmu, meski untuk itu aku harus menata hati.
Aku hanya ingin memberi, bukan meminta, apalagi memaksa.
Tidak mengertikah engkau, apa artinya….?
Masihkah harus ku jelaskan bahwa inilah bentuk lain dari cinta.
Cinta yang membebaskan, bukan membelenggu. Engkau tahu itu..?
Air mata ini telah lagi berwarna darah….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H