[caption id="attachment_111073" align="alignleft" width="500" caption="source from google.com"][/caption] Anda mungkin mengenal SUTERA SENGKANG. Yaitu kain SUTERA yang menjadi ciri khas kota SENGKANG di SULAWESI SELATAN. Akan tetapi tahukah anda bahwa banyak pengrajin sutera dari sengkang mengambil atau membeli benang dari soppeng? Tepatnya di Kecamatan Donri-Donri Kabupaten Soppeng sebagian masyarakatnya merupakan petani sutera. Namun mereka tidak pernah menghasilkan kain sutera atau bahkan tidak pernah dikenal benang sutera soppeng. Sebagian besar kain sutera yang dihasilkan oleh pengrajin sutera sengkang menggunakan benang yang berasal dari soppeng. Mereka membelinya dari petani sutera di Soppeng karena orang-orang soppeng tidak menghasilkan sampai pada tataran pemintalan kain. Petani sutera di soppeng hanya mengetahui sampai tataran menghasilkan benang sutera saja. Urusan pemintalan kain merupakan monopoli murni dari pengrajin sutera sengkang.
Ketika saya bertanya ke salah seorang petani soppeng bahwa mengapa mereka tidak berfikir juga untuk menjadi pemintal kain, mereka menjawab bahwa mereka sudah merasa cukup dengan keadaan ini. Lagipula menurut mereka, untuk menjadi pemintal kain dibutuhkan tidak hanya pengetahuan yang lebih akan tetapi juga dibutuhkan modal yang lebih. Dan inilah fenomena terbesar menurut saya bahwa realitas konstruksi pemikiran masyarakat golongan petani adalah konsevatif. Mereka adalah orang-orang yang merasa cukup dengan model kehidupannya sekarang. Realitasnya, para petani sutera soppeng yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi petani sutera tidak sadar bahwamekanisme pasar dikuasai oleh pengrajin sutera sengkang. Para pengrajin inilah yang kemudian berhak menentukan harga benang dipasaran. Yang juga berarti hasil jerih payah para petani soppeng ditentukan oleh pengrajin sutera sengkang. Seharusnya pemerintah kabupaten soppeng kemudian melakukan upaya-upaya protektif untuk melestarikan sutera di daerahnya.
Di Desa Pising Kecamatan Donri-Donri jumlah petani sutera pada tahun 90-an mencapai 1000 orang lebih. Akan tetapi karena tidak adanya kejelasan dari pemerintah dalam bentuk regulasi pasar sutera maka banyak yang beralih profesi. Dan ditahun 2000-an jumlahnya berkurang sekitar 40 orang lebih. Ini merupakan hal yang sangat sedih mengingat dalam jangka waktu sepuluh tahun saja penurunan jumlah petani sutera soppeng mencapai sekitar 80%. Padahal menurut sumer yang ditemukan bahwa ada museum di Thailand yang memajang alat pemintal yang berasal dari Donri-Donri Soppeng. Yang berarti bahwa soppeng dahulunya merupakan sebuah kota pusat pemintalan sutera yang besar yang pernah ada di Indonesia. Tapi hal itu semakin lama semakin hilang seiring berkembangnya zaman.
Perkembangan zaman yang tidak diikuti oleh perkembangan pemikiran, sehingga banyak peninggalan sejarah yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat justru harus punah. Lalu siapakah yang harus disalahkan dalam hal ini? Tentu saja persoalan ini merupakan persoalan sistemik bangsa Indonesia. Ada sistem yang salah dalam mekanisme pengelolaan Negara yang berujung pada ketidakadilan sosial. Dan ada aktor yang tidak bermoral yang mengendalikan sistem ini.
Please Visit ryzafardiansyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H