Oleh: Dr. Syamsul Yakin dan Firman Fathur Rahman
(Dosen dan Mahasiswa UIN Jakarta)
Tujuan dakwah dijelaskan dalam ayat berikut: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran/3: 104).Demikian juga, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imran/3: 110).
Nabi mengajarkan teknik untuk mencapai tujuan dakwah: "Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman" (HR. Muslim).
Dalam retorika, dari segi isi pesan, ada tiga tujuan: informatif, persuasif, dan rekreatif. Selain itu, ada juga tujuan edukatif dan advokatif. Kelima tujuan retorika ini terkait dengan tujuan dakwah, yaitu amar makruf dan nahi mungkar, yang bersifat informatif, persuasif, rekreatif, edukatif, dan advokatif.
Dari segi cara menyampaikan pesan, tujuan retorika setidaknya ada dua: monologika dan dialogika. Monologika adalah gaya bicara satu arah, biasanya dalam pidato, ceramah, dan khutbah. Dialogika adalah gaya bicara dua arah.
Dalam dakwah Nabi, banyak riwayat yang memuat dakwah dialogis. Pertama, dalam kitab Fathush Shamad, dikutip satu hadits dari Ibnu Umar yang bercerita bahwa dalam satu perjalanan bersama Rasulullah, seorang Arab pedalaman mendekat. Nabi bertanya, “Wahai kisanak, kamu hendak ke mana?” Orang itu menjawab, “Hendak pulang ke keluargaku”. Nabi bertanya lagi, “Apakah kamu menginginkan kebaikan?” Orang itu menjawab, “Apakah itu?” Nabi menjelaskan, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya”. Orang itu bertanya, “Siapa yang akan bersaksi untuk ucapanmu?” Nabi menjawab, “Pohon ini atau buah ini”. Pohon itu kemudian mendekat dan bersyahadat seperti Nabi.
Kedua, dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menceritakan keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Di Syam, Abu Bakar bermimpi melihat matahari dan bulan di kamarnya, lalu mendekap keduanya dengan erat. Dia bertanya kepada seorang pendeta Nasrani tentang mimpinya. Pendeta itu menjelaskan bahwa seorang nabi bernama Muhammad akan datang. Setelah mendengar penjelasan itu, Abu Bakar merindukan Nabi dan segera mencarinya di Mekah. Setelah bertemu Nabi, Abu Bakar masuk Islam.
Ketiga, dalam kitab al-Mawaidz al-Usfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip hadits dari Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar bertanya kepada Nabi tentang perbuatan yang mendekatkannya ke surga dan menjauhkannya dari neraka. Nabi menjawab, “Jika kamu melakukan kejelekan, maka ikutilah dengan kebaikan”. Abu Dzar bertanya lagi, “Apakah termasuk kebaikan kalimat 'Laa Ilaaha Illaahu'?” Nabi menjawab, “Benar, bahkan kalimat itu adalah yang terbaik di antara yang baik”.
Keempat, dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga”. Para sahabat bertanya, “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah” (HR. Bukhari).