Kasus  Prof. Djaali disebarkan di berbagai platform media sosial, menimbulkan perhatian dari publik. Prof. Djaali, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dicopot gelar professornya. hal ini karena tuduhan kepadanya yang mencakup plagiarisme, nepotisme, serta perilaku semena-mena terhadap bawahan. Kejadian ini mempermalukan nama baik UNJ dan merusak reputasi pendidikan di Indonesia
Prof. Djaali sendiri mengatakan bahwa ia belum menerima surat resmi dari pihak terkait. Sehingga ia merasa bahwa status pemberhentiannya masih ambigu dan belum sah. Menurutnya, surat yang ia terima bisa saja bersifat sementara, mengindikasikan bahwa status pemecatannya belum final. Hingga saat ini, ia bersikukuh bahwa tuduhan plagiarisme belum terbukti, dan keputusannya untuk berhenti tidak bersifat permanen.
Menurut saya, kasus ini memperlihatkan masalah besar dalam pendidikan Indonesia. Kredibilitas pendidik, termasuk profesor dan rektor, dipertaruhkan karena integritas mereka yang kurang. Kepercayaan para mahasiswa terhadap institusi pendidikan pun berkurang. Sungguh memprihatinkan, bahwa kasus seperti ini mencoreng citra pendidikan Indonesia, menegaskan kebutuhan untuk pembenahan moral, etika, dan kejujuran di samping kualitas akademis.
Tuduhan Plagiarisme terhadap prof. Djali merupakan fakta yang tak terelakan. Plagiarisme dalam pendidikan dianggap pelanggaran berat, karena merusak kredibilitas ilmiah seseorang dan berdampak pada integritas akademik institusi tempatnya bekerja. Hal ini menjadi perhatian serius, karena kampus seharusnya menjadi tempat yang menjunjung tinggi orisinalitas dan kejujuran intelektual.
Fakta kedua adalah tuduhan nepotisme dan perilaku sewenang-wenang. Sebagai seorang rektor, Prof. Djaali seharusnya menjadi teladan dalam etika dan manajemen kepemimpinan. Namun, perilaku yang semena-mena dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, merugikan bawahan, dan menimbulkan ketidakadilan. Tuduhan nepotisme memperparah situasi, memperlihatkan bahwa ada potensi penyalahgunaan wewenang.
Kasus ini bisa dianalogikan seperti sebuah televisi. Saat kita menonton film atau acara di televisi, yang menjadi fokus perhatian kita adalah tayangan tersebut, bukan televisinya. Begitu pula, karya-karya akademik Prof. Djaali selama ini mungkin terlihat baik di permukaan, namun tidak ada yang memperhatikan sumber-sumber yang ia gunakan. Seperti halnya TV yang tak terlihat penting hingga ia rusak, kesalahan ini baru terungkap ketika integritasnya dipertanyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H