[caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Sumber: http://goo.gl/KXeEs5"][/caption]
Membantu orang tidak mampu, tidak melulu dengan bentuk uang. Sebuah tradisi unik yang dimulai di Naples, Italy, melahirkan sebuah gagasan unik untuk membantu mereka yang tidak mampu atau “homeless”.
Kenapa saya katakan unik? Karena siapa pun bisa membantu dan tidak ada batasan seberapa banyak yang ingin kita sumbangkan. Caranya juga cukup mudah, kita cukup membeli beberapa kopi di sebuah kafe yang mendukung program terdebut.
Sekilas untuk ilustrasi, katakan, saya memesan dua kopi untuk saya dan teman saya, kemudian kami memesan tiga kopi ditangguhkan atau suspended coffee. Jadi total pesanan kami adalah lima kopi, kami membayar kelima kopi tersebut dan membawa dua kopi, sedangkan tiga sisanya kami tinggalkan dan beritahukan kepada pegawai kafe bahwa ketiga kopi tersebut adalah “Suspended Coffee”.
Bukan hanya kopi saja, kita juga dapat menerapkan sistem tersebut pada makanan yang kita beli di kafe tersebut.
Kafe tersebut akan menyimpan makanan dan minuman tersebut untuk orang tidak mampu atau homeless yang datang ke kafe tersebut dan bertanya apakah masih ada jatah suspended coffee serta bertanya dengan sopan, bolehkan mereka memintanya.
Untuk penerapannya sendiri, dapat dikatakan sudah berjalan dengan baik dan semakin menjamur. Bahkan banyak website yang menawarkan program tersebut. Silakan Anda googling untuk info lebih jelasnya.
Dalam kesempatan kali ini, saya ingin membahas, apa kemungkinan dampak yang akan terjadi dari program ini jika diterapkan di Indonesia.
Dampak positif, tentu akan makin banyak orang tidak mampu yang dapat makan makanan yang bergizi dan dapat merasakan nikmatnya masakan olahan serta minuman di kafe secara gratis.
Akan tetapi, melihat dari ketidaksiapan mental dan budaya “korup” yang mengakar membuat program ini akan menjadi program aji mumpung bagi berbagai pihak.
Akan banyak orang tidak mampu yang “tidak tahu diri” dan memilih untuk tidak bekerja dan selalu datang ke kafe untuk minta makanan dan minuman. Bisa dipastikan, bahkan kafe akan jadi tempat berebut makanan dan bisa saja terjadi keributan. Pengunjung merasa terganggu kemudian pihak kafe mengalami kerugian dan rakyat menjadi apatis terhadap program tersebut.
Kita lihat bedanya dengan program tersebut di negara maju sekelas Italy. Mereka yang datang hanya lah orang-orang yang memang tidak mampu, homeless dan lansia. Rasa malu yang cukup tinggi dan budaya mereka serta kesadaran diri untuk mengantri dan meminta dengan sopan, sangat mendukung berjalannya program ini dengan tertib dan tidak mengganggu pengunjung.
Kemungkinan lainnya, melihat dari maraknya budaya korup, beberapa oknum pegawai kafe akan memanfaatkan program ini demi keuntungan mereka. Seperti misalnya mengambil uang dari pelanggan namun tidak menyerahkan “suspended coffee” sesuai dengan jumlahnya.
Katakan jumlah suspended coffee yang terkumpul adalah 30 kopi, artinya pembeli membayar 30 kopi tersebut, namun ternyata hanya didistribusikan 20 kopi, kemudian mereka memalsukan data dengan menulis di laporan bahwa hanya ada 20 kopi ditangguhkan, maka keuntungan dari 10 kopi sisanya masuk kantong pribadi.
Untuk dapat menghindari hal ini, setiap kafe yang menerapkan program tersebut harus memiliki layar yang menuliskan berapa jumlah suspended coffee yang telah diterima sehingga sifatnya transparan dan pembeli bisa turut mengawasi.
Hal ini sudah diterapkan dengan baik di kafe kafe yang menerapkan program tersebut. Masalahnya, terkadang sebuah sistem baru yang berjalan dan diterapkan seringkali mengalami gangguan teknis, seperti yang diberitakan, bagaimana tempat uji KIR tidak memiliki peralatan yang memadai. Dengan kata lain, seringkali penerapan dan pelaksanaan suatu terapan, berjalan setengah-setengah atau tidak sesuai prosedur yang seharusnya, dan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum terkait.
Hal lainnya yang juga perlu dicermati agar tidak terjadi kesalahan target "subsidi", seperti yang terjadi pada BBM, maka harus ada bukti bahwa dia memang tidak mampu. Jangan sampai malah membuat oknum oknum rakyat menjadi malas dengan berharap pada suspended coffee. Jangan sampai mereka yang sebenarnya mampu, malah turut menikmati subsidi tersebut, apalagi dengan adanya program tersebut, seseorang bisa makan dan minum gratis, artinya bisa menghemat pengeluaran.
Jangan sampai program tersebut seolah menjadi sebuah kewajiban kafe atau restoran di masa yang akan datang dan kemudian dijadikan sebagai "hak" dari mereka yang malas dan tidak mau bekerja. Mereka hanya akan jadi beban dan benalu yang merugikan kafe, pemilik kafe dan negara.
Mungkin kah? Mungkin. Kenapa saya dapat memprediksi kemungkinan-kemungkinan tersebut?
Kita lihat saja bagaimana seorang yang mampu menuntut ‘hak’ gaji mereka yang katanya kurang, tapi dapat berdemo dengan menggunakan motor besar yang mahal. Padahal, ini bukan masalah gaji, tapi gaya hidup. Apalagi, kenaikan gaji juga sangat berpengaruh terhadap inflasi dan kenaikan harga-harga barang. Kadang saya heran, buat apa pegang gaji enam juta dengan nilai dua juta? (Makanya janji salah satu capres tentang gaji enam juta, sangat tidak mungkin dan dapat memporak porandakan perekonomian Indonesia). Lebih baik pegang gaji tiga juta dengan nilai tiga juta.
Jika tidak dipenuhi, mereka terus berdemo, tapi jika dipenuhi, akan terus ada kekurangan-kekurangan lainnya. Sampai terakhir demo minta uang parfum dan keperluan yang sebenarnya bersifat pribadi.
Kita juga bisa melihat fenomena di mana orang-orang yang mampu membeli motor mahal dan mobil turut mengambil subsidi BBM yang bukan haknya, bahkan oknum pemerintahan juga menggunakannya.
Contoh miris lainnya dapat kita lihat pada penipuan-penipuan berkedok sumbangan. Hebatnya, mereka yang melakukan penipuan tidak merasa bersalah.
Saya juga pernah punya pengalaman pribadi, di mana seseorang lansia datang kepada saya dan meminta makan di kawasan Cikini, saya saat itu kebetulan memesan dua porsi mi goreng, jadi saya beri satu porsi kepada lansia tersebut. Lucunya, dia malah menolak dan minta dibelikan nasi goreng. Ibaratnya dikasih hati, minta jantung.
Contoh lainnya, kita lihat bagaimana saat PKL yang sudah diperingati digusur, mereka malah mencaci maki Pemrov DKI. Lucunya, banyak yang mendukung mereka bahwa Pemrov DKI salah. Istilahnya, mereka ambil tanah negara, kemudian diklaim jadi hak milik dan minta ganti rugi. Apa tidak merugikan negara? Eh, malah katanya Pemrov DKI tidak punya hati nurani. Ini yang kemudian aneh, kalau semua pakai hati nurani, buat apa ada hukum? Sampai kapan negara ini mau tertib dan mengejar ketinggalannya terhadap negara lain?
Beberapa contoh di atas adalah sebagian kecil alasan mengapa saya sangat yakin program suspended coffee tidak bisa diterapkan di Indonesia. Masih banyak alasan yang jika saya kemukakan, membutuhkan waktu dan penjelasan yang panjang. Jadi, saya sudahi sampai di sini.
Kira-kira begitu gambaran tentang program baik yang akan sangat sulit diterapkan di negara Indonesia. Namun, tidak ada yang mustahil. Tidak akan ada yang benar-benar tahu bagaimana jalannya program tersebut jika diterapkan di Indonesia, pasti akan ada dampak baik dan buruk, tergantung bagaimana regulasi pemerintah dan mental masyarakat, juga kesiapan para penyelenggara dan pendukung program tersebut.
Baca juga tulisan saya lainnya:
Hubungan Manusia, Definisi dan Persepsi.
Tips Memilih Pasangan Yang Tepat Sebelum Menikah.
Bahaya dan Cara Cegah False Memory.
Menggali dan Mengembangkan Potensi Anak tanpa Membebaninya. Rasa Takut, Cinta, Naluri dan Obsesi
Kartu Kredit, Membantu atau Menyusahkan?
Bintang yang Telah Redup Catatan Seorang Introvert
Note: Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis. Untuk komentar, saran dan tanya jawab, silakan mengisi kolom komentar di bawah ini.
Penulis : Hong Kosan Djojo
email : ryukiseki@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H