Kenaikkan BBM adalah salah satu kebijakan tidak populer yang dilakukan oleh Jokowi dan menimbulkan pro-kontra dari rakyat. Sebuah langkah terobosan yang sangat berani di awal pemerintahannya.
Kenaikkan BBM pasti akan memberi pengaruh di dalam setiap lini kehidupan, Di sana sini, saya mendengar keluhan dan juga keberatan akan kenaikkan BBM kali ini yang cukup drastis. Saya sendiri sangat merasakan dampak kenaikkan BBM, karena setiap ada kenaikkan BBM, harga semua barang pasti naik.
Namun kemudian, saya mencoba berpikir positif tentang kenaikkan BBM. Sayangnya, setiap kali membaca berita tentang korupsi, kinerja para petinggi negara ini, korupsi-korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan, saya merasa kesal dan merasa bahwa kenaikkan BBM tidak tepat. Atau setiap kali saya ke pom bensin saya melihat banyak orang dengan mobil mewah, mobil dinas, dan sebagainya, mengisi BBM bersubsidi.
Yang sangat saya sayangkan adalah banyak orang yang mengatasnamakan orang miskin atau orang kalangan bawah untuk menolak kenaikkan BBM, padahal orang kaya dan pengusaha pun terkena dampaknya. Harga biaya operasional semuanya meningkat dan pengeluaran bertambah, sedangkan nilai uang jadi semakin kecil karena inflasi.
Padahal banyak hal selain kenaikkan BBM yang juga bisa meningkatkan laju inflasi. Seperti misalnya demo kenaikkan gaji karyawan yang disetujui. Gaji karyawan meningkat, namun biaya operasional perusahaan jadi meningkat, biaya produksi juga otomatis ikut meningkat, artinya harga barang jadi lebih mahal. Sehingga akhirnya, nominal uang terlihat besar, namun nilainya kecil. Sayangnya banyak orang yang mengukur nilai uang dari nominalnya saja.
Sama halnya dengan BBM, banyak orang yang secara membabi buta menolak kenaikkan BBM dengan alasan yang ‘klasik’, dan hanya kembali pada ego mereka (karena tidak ingin biaya meningkat). Padahal kenaikkan BBM juga membawa dampak positif terhadap perkembangan negara ini.
Sebelum kita membahas keuntungan dari kenaikkan BBM, mari kita lihat lagi sejarah negara ini. Dimulai dari rezim orde baru, di mana harga semua barang murah dan kita tidak kesulitan uang, bunga bank pada saat itu juga masih tergolong tinggi. Namun begitu keluar dari rezim orde baru, kita baru sadar bahwa kita berhutang dalam jumlah yang sangat besar untuk menikmati segala kenyamanan di masa orde baru. Siapa yang menanggung beban hutang tersebut? Anak cucu kita nanti.
Artinya, jika orde baru berlangsung lebih lama, berapa banyak hutang yang harus kita bayar nanti? Kita nyaman, tapi senyaman-nyamannya kita berhutang, kita juga akan mendapat tekanan dari orang-orang yang memberi kita hutang. Untuk kalian yang suka teriak-teriak asing. Kita dulu berhutang pada bangsa lain. Lalu, kenapa kalian tidak berpikir cara membayar hutang?
Padahal kita menikmati hasil dari hutang-hutang tersebut, tapi kita enggan memikirkan cara untuk membayar hutang. Kita hanya bisa teriak dan mengeluh serta mengenang kejayaan era orde baru. Ironis.
Kita lihat negara lain yang sudah maju. Mereka pun tidak lepas dari hutang, namun mereka mandiri dan dapat membuat sistem ekonomi dengan subsidi yang jelas, karena di negara maju, mereka memiliki sitem dan solusi yang baik. Namun apakah solusi tersebut serta merta datang begitu saja? Tidak. Semua butuh anggaran, kerjasama, dan kesadaran dari berbagai pihak.
Kita lihat bagaimana negara asing yang maju dan dihujat oleh para orang fanatik bisa lebih tegas dalam menghukum koruptor, sedangkan di negara ini, mau hukum mati penjahat aja, masih jadi pro-kontra, masih terlalu banyak menggunakan perasaan dan fanatisme. Ditambah lagi, masih banyak oknum hukum dan birokrasi yang malah memainkan hukum itu sendiri. Jadi banyak koruptor yang dengan bebas keluar masuk penjara dengan wajah tersenyum.
Tidak mudah untuk memberantas segala kebobrokan yang telah mengakar di negara ini. Kebobrokan tersebut berasal dari para petinggi negara sampai pada rakyat kecilnya. Kita lihat saja, bagaimana banyak angkot yang sembarangan berhenti, pemotor yang naik trotoar, bahkan sampai oknum polisi yang menerobos lampu merah. Semua kalangan harus diperbaiki dengan sistem.
Dan untuk dapat mewujudkan sistem yang baik, bangsa yang mandiri, semua butuh anggaran dan ‘revolusi mental’, juga kerjasama dari berbagai kalangan. Kita lihat bagaimana birokrasi dipoles sedemikian rupa dalam pemerintahan Jokowi dan Ahok.
Hal paling sederhana yang dapat terlihat, pembangunan jalan yang telah dimulai di berbagai tempat. Padahal dulu, kita lihat pembangunan jalan tidak merata dan hanya terjadi di beberapa tempat, itu pun sering hancur dan kemudian diperbaiki kembali berulang kali, untuk apa? Agar para ‘pemain’ dan ‘oknum’ bisa mendapat keuntungan dari mark up biaya-biaya perbaikan jalan. Padahal jalan yang berlubang tak jarang ‘membunuh’ pengendara.
Lantas, kenapa sekarang, jalan dibangun dengan cepat dan seolah tergesa-gesa? Ini semua adalah efek dari Jokowi. Terutama, karena saat ini Jokowi menjadi presiden, banyak oknum pejabat dan birokrat merasa takut dan mulai berhenti bermain-main (baca: korupsi).
Ini adalah sebuah kemajuan positif yang seharusnya bisa dilihat seluruh rakyat Indonesia. Akan ada perubahan positif dalam 5 tahun mendatang, walau pun mungkin tidak akan signifikan, mengingat budaya korup sudah mengakar sangat lama.
Kita juga bisa melihat bagaimana orang-orang baik dan memikirkan rakyat di negara ini berakhir dengan menyedihkan. Namun politik Indonesia yang masih didominasi oleh ‘oknum nakal’ selalu mencari cara menjatuhkan orang-orang baik dalam pemerintahan agar mereka bisa menghisap darah (baca: harta) rakyat Indonesia. Namun, mereka dengan lihai menipu dan melakukan propaganda melalui fanatisme, fakta yang diputar balikkan, sampai kepada pembohongan publik.
Coba kita renungkan kembali, seberapa besar pengorbanan para pahlawan kita, namun pada akhirnya kita dijajah oleh bangsa sendiri. Kita lihat bagaimana berbagai suku dan agama berupaya untuk melawan penjajahan, namun saat ini suku dan agama malah menjadi alasan perpecahan. Semua kelompok seolah mengeksklusifkan dirinya sendiri dan memandang rendah kelompok lain. Sampai-sampai ada istilah ‘kelompok minoritas’ dan ‘kelompok mayoritas’.
Kita terlalu terbuai dengan berbagai kemudahan pada saat orde baru. Kita saat ini, seperti anak orang kaya yang tiba-tiba jatuh miskin, hidupnya akan lebih menderita karena kita sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah. Sehingga kita akan selalu membandingkan ‘dulu’ dengan ‘sekarang’.
Ada istilah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Sekarang kita sedang memasuki perjuangan jilid 2 dari bangsa ini. Perjuangan melawan penjajahan model baru, penjajahan dari kebodohan dan kemiskinan yang ironisnya disebabkan oleh bangsa sendiri (oknum-oknum yang korupsi, dan sebagainya).
Sekarang, Jokowi, Ahok, dan para orang baik lainnya sedang berjuang melawan penjajahan di era modern. Tapi namanya perjuangan, tidak akan mudah dan pasti butuh keberanian serta pengorbanan. Seperti yang dilakukan oleh Jokowi saat ini. Keputusan yang dia ambil, akan membuat dia tidak disukai rakyat, namun dia tetap melakukannya.
Kalian pikir mudah untuk membayar hutang, membuat sistem yang baik, dan merevolusi mental orang-orang satu negara? Semua harus dilakukan agar dalam 5 tahun mendatang hasilnya akan terlihat. Betapa patriotiknya seorang Jokowi dalam mengambil keputusan yang tidak populer. Namun para nyinyiers, hanya bisa menghujatnya tanpa berpikir panjang.
Padahal dengan kenaikkan harga BBM, maka anggaran pemerintah dalam menangani masalah-masalah masyarakat akan bertambah dan positifnya kita dapat membayar hutang ke luar negeri, artinya kita akan menjadi semakin kaya.
Kenapa? Pertama, subsidi untuk kartu sakti Jokowi yang mencakup kesehatan dan pendidikan. Masyarakat punya akses lebih baik dalam kesehatan dan pendidikan sebagai bekal mereka dalam beraktivitas dan masa depan.
Hal positif lainnya, kita dapat membayar hutang kepada negara luar, yang artinya harga rupiah menguat dan kita bisa menikmati liburan ke luar negri lebih mudah. Selain itu harga barang-barang luar negri dapat kita beli dengan harga yang lebih murah daripada sekarang. Perekonomian lebih stabil dan dengan adanya perbaikan jalan, infrastruktur, serta sistem birokrasi akan menjadi daya tarik bagi wisatawan dan investor untuk berkunjung dan menanam modal. Artinya perekonomian menguat dan lapangan kerja menjadi lebih luas dan bertaraf internasional.
Tapi untuk mewujudkan semuanya itu, butuh anggaran yang tidak sedikit. Lucunya, negara ini masih saja meributkan hal-hal teknis daripada berpikir untuk kemajuan bangsa dan negaranya. Kita lihat saja FPI, saya yakin massa mereka, jika digunakan untuk membersihkan Jakarta, jalan-jalan pasti bisa lebih bersih dan sangat membantu pemerintah, daripada demo yang bikin macet jalan dan menebarkan kebencian.
Jiwa yang korup sudah terlalu mengakar di negeri ini, dan sebenarnya ini lah yang membuat kita miskin. Kita lihat, banyak orang yang bekerja dengan mengharapkan gaji yang besar tanpa melihat kapasitas mereka. Contoh sederhana adalah ketika saya menjadi seorang kepala bagian. Saya melihat karyawan saya mengeluh dan berkata bahwa dia sudah rajin bekerja.
Padahal, yang saya lihat berbeda. Ya, dia memang rajin, tapi dia tidak intropeksi diri. Sebuah pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam sejam, dia kerjakan selama tiga jam. Pada saat itu saya paham, dari posisi perusahaan, memang kerajinan jadi salah satu kriteria, namun perusahaan lebih butuh orang yang bisa bekerja lebih efisien. Perusahaan melihat produktivitas, sedangkan karyawan melihat lamanya waktu mereka bekerja.
Mental seperti ini yang membuat kita selalu berada di zona nyaman dan tidak bergerak ke mana pun. Di Indonesia, semua orang berpikir, ‘berapa bayaran yang akan saya terima jika…’. Sedangkan perusahaan selalu berpikir bagaimana memberi gaji serendah mungkin. Sehingga saya dari sisi netral melihat, bagaimana dua kepentingan beradu. Siapa yang salah? Dari sisi karyawan, jelas perusahaan yang salah, padahal mereka sendiri tidak menunjukkan kinerja yang baik. Sedang dari perusahaan, selalu memikirkan untung yang besar dengan menekan biaya seminim mungkin, namun kadang malah mempengaruhi kinerja dan motivasi karyawan. Walau pun, menurut saya perusahaan pun sebenarnya serba salah. Memberi gaji besar, ternyata karyawan tersebut kurang capable. Memberi gaji kecil, dan kehilangan orang yang baik. Jadi posisi karyawan dan pengusaha serba salah.
Belum lagi ditambah dengan birokrasi pemerintahan yang memakan biaya. Seperti misalnya dulu, mengurus izin, sudah menghabiskan banyak biaya dan membutuhkan waktu lama. Contoh mudahnya, saat kita dulu membuat SIM. Harus menyogok untuk lulus. Saya adalah salah satu yang mengalaminya.
Jadi budaya korup dan cara pikir yang sempit lah yang membuat kita menjadi miskin. Setoran kanan dan kiri, serta mental yang selalu mengharapkan imbalan membuat kita terhambat dan tidak dapat mencapai potensi maksimal. Ironisnya, himpitan ekonomi dan contoh dari banyak orang yang lebih dewasa mengarahkan mental kita ke sana.
Himpitan ekonomi membuat seseorang mudah terpengaruh dan terpropaganda serta tidak dapat berpikir panjang, sehingga tidak jarang mereka yang menjadi sasaran politik yang menyesatkan dan berusaha memanfaatkan mereka untuk kepentingan politik mereka.
Seperti kenaikkan harga BBM yang dipolitisir oleh beberapa orang dan berusaha untuk memberi kesan seolah kenaikkan BBM kali ini adalah ‘dosa’ Jokowi atau ‘rapor merah’ di awal pemerintahan Jokowi. Padahal jika mereka, para nyinyiers menjadi seorang Jokowi, belum tentu mereka dapat memberi solusi yang lebih baik. Lagipula lebih baik mereka memberi solusi daripada sekedar menghujat tanpa tahu tentang kondisi negara ini.
Solusi itu, harusnya dicari dan diciptakan. Bukan terus diam dan menghujat keadaan. Coba bayangkan jika orang-orang Finlandia tidak berupaya mencari solusi dari tanah mereka yang berbukit-bukit untuk berkomunikasi, maka tidak akan pernah Nokia. Karena mereka, dengan kondisi dan segala keterbatasannya berusaha mencari solusi, maka terciptalah Nokia.
Begitu juga dengan kenaikkan BBM. Sebenarnya ada banyak cara untuk menyiasatinya. Misalnya saja dengan cara menggunakan satu mobil seefisien mungkin. Misalnya saja satu mobil untuk 4 orang yang searah kantornya dan membuat titik poin untuk bertemu, atau pergi bersama tetangga, atau menggunakan angkutan umum. Sayangnya masih banyak orang yang merasa lebih praktis menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga banyaknya pikiran seperti ini lah yang membuat jalanan semakin macet.
Masih banyak masyarakat yang terlalu perhitungan dan ‘tidak enak’ alias terlalu menggunakan perasaan. Padahal tinggal dibicarakan bagaimana enaknya, apa biaya bensin dibagi bersama atau bagaimana. Jika semua orang bisa berpikir dan mencari jalan untuk lebih efisien dan efektif, maka semua orang akan lebih nyaman.
Sama halnya seperti membuang sampah. Satu orang berpikir, ‘hanya satu sampah’. 1000 orang berpikir seperti itu, maka sudah ada 1000 sampah, kalikan saja sebulan, setahun. Intinya semua dimulai dari kesadaran diri dan kemauan untuk mencari solusi. Apalagi dengan teknologi yang canggih, kita bisa berkomunikasi dengan lebih efektif.
Di beberapa negara maju bahkan, tarif parkir dan pajak kendaraan dibuat mahal. Tujuannya agar dapat mengendalikan kemacetan dan kenyamanan masyarakat. Namun mereka pun membangun infrastruktur dan sistem yang baik. Namun semua pembangunan itu butuh waktu dan anggaran.
Dengan adanya kenaikkan BBM dan wacana menaikkan tarif parkir, maka rakyat akan ‘dipaksa’ untuk mengubah gaya hidup. Positifnya, kemacetan berkurang, subsidi lebih terarah, lingkungan lebih bersih. Dan mungkin saja sepeda akan kembali populer seperti di negara-negara maju. Kita jadi lebih sehat, aman, dan nyaman.
Jadi, untuk kalian yang masih mengeluh tentang kenaikkan BBM, coba lah lebih realistis dan lihat lah jauh ke depan. Pikirkan bagaimana kenaikkan BBM bisa membantu negara membayar hutang yang pada akhirnya akan menguatkan nilai rupiah. Mengurangi jumlah kendaraan baru, mengurangi fenomena knalpot racing yang asapnya sangat mengganggu, karena bensin untuk knalpot racing cukup boros. Anggarannya pun bisa disubsidikan untuk kesehatan dan pendidikan. Dan ke depannya, dengan sistem, infrastruktur, dan mental yang baik, maka kehidupan kita akan lebih nyaman.
Ingat, kemiskinan kita selama ini bukan karena kenaikkan BBM, namun karena oknum-oknum yang korup dan mengambil hak rakyat. Setoran di mana-mana, dan budaya korup yang sudah mengakar dari berbagai kalangan, dan mental tidak mau susah.
Untuk pintar, kita harus belajar dan mengorbankan waktu. Sama halnya dengan kemajuan bangsa ini, kita harus mau berusaha dan keluar dari zona nyaman kita, merubah pola pikir dan mental untuk menjadi bangsa yang lebih mandiri. Tidak mudah untuk menjadi bangsa yang mandiri, tapi akan lebih sulit jika kita tidak menjadi bangsa yang mandiri. Lawan kebodohan dan kemiskinan yang menjajah kita dengan mendukung kebijakan dan pemimpin pro rakyat sambil mengawasi kinerjanya.
Lagipula, kebijakan kenaikkan BBM ini sudah direncanakan sejak lama, dapat dilihat dalam berita ini. Artinya, siapa pun pemerintahnya, pasti akan menaikkan BBM. Yang penting adalah ke mana anggaran dari BBM tersebut digunakan. Karena, percuma saja BBM kita bukan dinikmati oleh rakyat kecil, namun dinikmati oleh orang-orang yang membeli BBM dalam jumlah yang banyak.
Baca juga tulisan saya yang lainnya:
Bisakah diterapkan di Indonesia? “Suspended Coffee” dan Apa Dampaknya?
Hubungan Manusia, Definisi dan Persepsi
Tips Memilih Pasangan Yang Tepat Sebelum Menikah
Bahaya dan Cara Cegah False Memory
Menggali dan Mengembangkan Potensi Anak tanpa Membebaninya
Rasa Takut, Cinta, Naluri dan Obsesi
Kartu Kredit, Membantu atau Menyusahkan?
Note: Tulisan adalah karya pribadi. Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis.
Penulis : Hong Kosan Djojo/Ryu Kiseki
email : ryukiseki@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H