Mohon tunggu...
M. Yusuf Apriyadi
M. Yusuf Apriyadi Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda yang hanya mencoba mengisi hidup yang bernilai. Merupakan salah seorang pendiri komunitas Kalfa (http://www.facebook.com/groups/kalfa/).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pertunjukkan Teater Satu "Visa"

5 Juni 2011   09:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:51 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin Jumat, tepatnya hari Jumat tanggal 3 Juni 2011, saya akhirnya mencoba menonton teater bersama sahabat ke Salihara di bilangan Pasar Minggu. Sebenernya sih motif utama menonton teater itu bukanlah teater itu, tetapi pada isi teater. Bingung? Sama, gw juga bingung dalam jelasinnya :D .

Awalnya dari membaca koran Kompas bertanggal 29 Mei 2011 dimana ada agenda Teater Satu yang menceritakan tentang pengurusan visa kedubes Amerika Serikat di Salihara yang penulisan naskah ditulis oleh Goenawan Mohamad. Hal ini membuat saya begitu antusias. Doushite? (mengapa?) pertama, tentang visa AS. Dulu setahun yang lalu saya pernah nganterin sahabat ke kedubes AS untuk mengurus visanya ke AS, saat anterin sampe ke depan kedubes AS, ane liat banyak orang yang antri. Selain itu, ane juga sering baca postingan blog orang tentang pengurusan visa AS yang ribet, ada cerita berhasil, ada pula cerita gagalnya. Ane juga mencari tahu bagaimana prosedur-prosedur mengurus visa AS yang ternyata ribet dan birokratif.

Segera setelah tau informasi teater ini, ane langsung kabarin ke sahabatku itu. Apalagi sahabatku ini termasuk yang gagal mendapat visa AS dan sempat terpukul karenanya, oleh karena itu siapa tau setelah menonton teater ini dia setidaknya bisa terbebaskan dari trauma visa AS (tapi dari habitnya sih sepertinya akan tetap trauma hahaha...) :D .

Kedua, mencari hal baru. Yup, ane tidak pernah menonton teater sama sekali. Bahkan dulu pernah ditawar oleh teman waktu kuliah untuk menonton teater akar di kampus tapi saya tampik karena memang tidak berminat dengan teater, apalagi sudah terbentuk imej orang-orang teater itu aneh bin ajaib, soalnya dulu pernah ketemu grup teater di Senayan saat lagi jalan-jalan abis dari pameran, ane pernah diketawain oleh sekelompok teater, padahal penampilanku biasa aja dan emang ga interaksi sama mereka tapi kok saat melihat saya mereka malah tertawa kompak... bahkan temanku pada waktu itu juga bingung kenapa mereka tertawa T_T .

Well terlepas dari pengalaman gila itu, akhirnya ane mau juga menonton teater kali ini, yah mungkin karena ingin tau juga seperti apakah itu teater. Itupun juga karena ingin tahu cerita visa apakah yang hendak diceritakan? Apakah sesuai dengan cerita-cerita pengurusan visa ala sahabatku itu?

Ketiga, nama Goenawan Mohamad. Tidak bisa dipungkiri, nama ini jadi faktor mengapa mau nonton teater. Soalnya saya sering membaca puisi-puisinya di Kompas, susunan kata-katanya begitu menarik dan buat saya menjadi inspirasi untuk membentuk ide-ide menulis blog, atopun puisi bahkan status FB :P .

Oke, setelah datang ke Salihara via motor (sebelumnya tersesat dulu ke Pancoran, gara-gara ane lupa arah jalannya ^_^" ), beli tiket seharga Rp. 50.000 per orang. Eh iya, sahabatku itu termasuk wartawan sehingga dia punya tagname pers, kebetulan saat itu ada meja buku tamu khusus pers, jadilah temanku mengisi dan mendapat brosur yang sepertinya eksklusif buat wartawan (ngiler gw liatnya... mungkin gw harus daftar menjadi pers... ^3^ ).

Saat mengantri masuk ke ruang teater, tiket disobek oleh petugas, tetapi hanya satu tiket yang disobek sementara tiket yang lain malah utuh... loh kenapa satunya lagi ga disobek? Itulah yang menjadi misteri, tapi saya menduga mungkin karena ada sahabat yang memakai tagline pers makanya tiket itu tidak disobek, mungkin loh ya... klo pers itu digratiskan??? Ahaha entahlah...

Oke sudah masuk ke ruang teater, tempatnya kecil, tidak terlalu luas seperti stadion Gelora Bung Karno, pun juga tidak seluas bioskop, mungkin kira-kira kapasitas duduknya sekitar 100 orang saja. Oiya para penonton saya liat sepertinya termasuk orang yang menghargai seni, terlihat dari cara berpakaiannya rada-rada berkelas tinggi, sangat jarang saya melihat syal-syal dipakai (merasa malu dengan diri sendiri, berasa kayak lagi di planet alien :P ).

Sayangnya didalamnya tidak boleh memotret, jadi saya hanya membantu dalam segi membayangkan suasana seperti apa yang didalamnya. I'll do my best to lecture all of you (loh) :P . Didalam panggung sudah tersedia set semacam tempat duduk dan tangga antrian. Dekorasi set-set itu terbagi 3 bagian, tangga untuk masuk ke ruangan, ruang tunggu, dan ruang kelas. Set-set itu sendiri tidak dipisah partisi, tetapi hanya pengaturan dekorasi set saja yang tampak dibatasi. Terdapat layar putih besar dibelakang panggung, saya tebak ini akan dipakai semacam layar untuk presentasi karena ada alat infokus yang tergantung di tengah-tengah atas panggung secara tersembunyi, jikalau tidak ada cahaya lampu warna-warni infokus, maka saya tidak akan menyadari kehadirannya.

Acara dimulai, muncul anak kecil yang berdiri di ujung tangga, yang diikuti semacam narasi. Setelah itu muncul sekelompok orang-orang yang berbaris di set panggung tangga panjang, mungkin menggambarkan antrian masuk ke kedubes AS seperti yang ane liat sewaktu mengantarkan sahabat ke kedubes AS. Ada mahasiswi cantik, pemuda kantoran, orang gaul, dua pelajar cewe yang bertemanan, ibu-ibu, bapak-bapak, dua pekerja yang tampaknya seorang sales, perempuan bergaya gipsy, dan seorang pria maho.

Masing-masing melakoni alamiah, pria maho bertingkah laku dan berpakaian banci, mahasiswi bersikap membaca buku, dua pelajar berbincang-bincang yang sepertinya membahas pelajaran, orang gaul jadi autis bbm dan sms, bapak-bapak sibuk teleponan, ibu-ibu sedang berbicara dengan pemuda kantoran yang gagap, dua pekerja sales saling berdiam diri dengan gaya duduk yang berbeda di kursi masing-masing.

Terdengar mereka berbicara sesuai dengan masing-masing urusannya sehingga kita melihatnya seperti menonton sebuah adegan di TV tetapi dengan format real show. Sebetulnya mungkin lebih tepat kita melihat sepotong kisah kejadian di dunia nyata yang dibawa ke alam panggung ini.

Dalam penceritaannya terasa sekali khas Indonesia disini kendati dalam kenyataannya tidak mungkin ada disebuah kedubes AS, contohnya ada pengamen yang ngamen di kedubes AS, adanya lakon autis bbm, sms, dan telpon yang seenaknya (berteriak-teriak gak jelas), antrian yang gaduh, main dorong-dorongan dan rebutan menjadi yang terdepan. Melihat dari pengalaman nyata seorang sahabat, tidak mungkin ada pengamen yang berani mengamen, hp/bb/alat elektronik dilarang dibawa kedalam kedubes, dan yang penting tidak ada antrian gaduh karena AS tipenya paranoid dalam hal keamanan.

Yang menarik bagi saya adalah tidak adanya orang yang berlakon menjadi petugas kedubes AS disini. Saat adegan antrian yang gaduh, mahasiswi yang mendapat antrian depan berlaku seolah-olah sedang berbicara dengan petugas keamanan yang galak tetapi petugasnya sendiri tidak ada. Yang hebat itu akting mahasiswi, dia berlaku seolah-olah ada orang didepannya dan meminta maaf kepada petugas invisible yang galak itu.

Selain itu, adapula adegan bercerita, dimana beberapa pelakon diberi porsi berbicara ke depan penonton. Maksud kedepan adalah benar-benar kedepan penonton, seolah-olah pelakon sedang berbicara kepada para penonton. Bagi saya yang pertama kali nonton teater, buat saya menjadi menarik, didalam cerita ini seolah-olah penonton itu adalah para petugas-petugas kedubes AS yang mengawasi mereka.

Cerita terus mengalir dari awalnya ceria, segar, lucu (banyak penonton yang tertawa terbahak-bahak melihat polah maho yang bencong sekali, terutama di antrian gaduh dimana maho itu terjepit diantara kedua salesman yang saling dorong), suram, stress, dan depresi.

Setelah beberapa adegan demi adegan, muncullah tiba-tiba seorang petugas kedubes AS. Dia bertindak memeriksa formulir visa dan mewawancarai pemohon visa. Tidak semua pelakon diwawancarai, hanya sebagian seperti pekerja gagap, mahasiswi, dan ibu-ibu. Cara mewawancarainya pun berbeda. Petugas kedubes AS, berdiri di belakang panggung yang dilatari gambar anjing bulldog besar dan pemohon visa menatap para penonton.

Dari sini kita bisa melihat ekspresi mereka berdua. Mereka bercakap-cakap, sayangnya ane susah menangkap suaranya soalnya tempat duduknya ga bagus, berada diatas banget, bagi saya suaranya terdengar sayup-sayup, belum lagi emang ane bukan termasuk pendengar yang baik... Well, kata sahabat sih, mereka bercerita banyak hal bahkan ada puisi yang dibacakan, katanya isinya begitu padat sehingga kalau dituliskan bisa berbab-bab untuk menjelaskannya. Katanya pula kata-kata puisinya bagus sekali. Well tak banyak komentar yang bisa saya katakan... T-T .

Terlepas dari dialog, buat saya yang menarik adalah simbol-simbolnya yang dihadirkan. Berupa ekspresi senang, sedih, stress, depresi dan down ada disini. Klo tangisan, jangan harap ada. Ceritanya sendiri berakhir ketika semua orang akhirnya mendapat visa dari kedubes AS yang paranoid, dan prosedur yang berbelit-belit. Setelah itu semua pelakon menggandengkan tangan dan menundukkan kepala seraya mengucapkan terima kasih, para penonton bertepuk tangan bersahut-sahutan.

Acara selesai, sebagian penonton ada yang menyalami, berbincang-bincang, foto-foto dengan para pelakon, adapula yang ngobrol-ngobrol antar temannya. Klo saya dan sahabat langsung keluar membeli minuman karena haus :P . Disela-sela pembicaraan mengenai pertunjukkan teater, kata sahabat, sebenarnya pelakon petugas AS adalah pelakon pemuda gaul karena di akhir pertunjukkan tiba-tiba pemuda gaul hilang tak berbekas diganti petugas kedubes AS.

Katanya pula bukan petugas AS menyamar jadi pemohon tetapi mungkin kekurangan pemain sebab tidak ada cerita yang menceritakan kalau ada pergantian peran pemohon ke petugas. Bahkan para pemohon tidak ada yang berekspresi kaget bahwa petugas AS adalah pemohon gaul yang bikin ribut-ribut dengan autisme dan teriak-teriak gak jelas di hp-nya. Kalau menurut saya sih mungkin saja itu adalah intel AS buat memantau para pemohon sebagai tanda arogansi dan keparanoidan AS terhadap para pemohon visa. Yah pendapat bisa aja berbeda kan? :P .

Oiya, minum-minum teh botolnya sendiri di luar, bukan di cafe, karena takut mahal (hehehe) lagipula di cafe sendiri sudah terlalu ramai dengan orang-orang sehingga agak malas untuk kesitu. Setelah selesai minum, barulah caow kembali ke rumahnya masing-masing.

Anyway... ane sampe sekarang masih kepikiran tentang teater itu, padahal ane sama sekali tidak mengerti dengan cerita-cerita yang terjadi di pengurusan visa itu. Buat saya mungkin teater kurang cocok, tetapi saya suka dengan simbol-simbol dan akting-akting para pelakon serta ekspresi air muka para pelakon. Mungkin kedepannya kalau menonton teater, ambil di tempat duduk terdepan biar bisa menyimak dialog-dialog yang terjadi yah...

Well sekurang-kurangnya ane merasa segar setelah berkunjung ke tempat yang sama sekali baru. Alhamdulillah terasa seperti ada energi buat melanjutkan hidup ini hehehe... Well? Are you like teater?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun