Mohon tunggu...
Ryski Ludmilla
Ryski Ludmilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sadari Toxic Masculinity Berujung Fragile Masculinity dapat Menyerang Semua Gender

11 Juni 2022   23:21 Diperbarui: 6 Maret 2023   13:18 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu contoh budaya yang diwariskan di sekitar kita yaitu budaya maskulinitas. Sedari kecil, anak laki-laki kerap diajarkan oleh orang di sekitarnya untuk menjadi kuat, tidak boleh lemah, tidak boleh menangis, dan harus dapat menahan emosinya. Budaya tersebut, yang kini banyak dikenal sebagai toxic masculinity, kemudian membentuk anak laki-laki yang cenderung memendam perasaannya sendiri. Padahal setiap manusia berhak untuk mengekspresikan emosinya. Manusiawi bagi setiap individu, baik perempuan maupun laki-laki, untuk menangis, merasa sedih, merasa sensitif, dan mengekspresikan emosinya melalui berbagai cara.

Frasa toxic masculinity mungkin sudah sering kalian dengar. Banyak pula yang kerap menyuarakan. Lantas apa itu toxic masculinity? Toxic masculinity adalah sebuah konstruksi sosial yang sering menyebutkan bahwa laki-laki dituntut untuk dapat berpenampilan macho, tegas, tidak cengeng, memiliki jiwa kepemimpinan, dan harus selalu pandai dalam berbagai hal. Banyak ujaran yang ternyata termasuk dalam perilaku toxic masculinity seperti “jadi cowok gak boleh nangis”, “jadi cowok gak boleh pakai baju warna pink”, “cowok kok gak main bola sih?”, “jadi cowok harus keras, gak boleh lembut!”, “cowok gak boleh main boneka, harus main mobil-mobilan!”, dan masih banyak lain yang mungkin sering kalian dengar.

Bukan masalah sepele, ternyata toxic masculinity berbahaya untuk kesehatan mental laki-laki. Toxic masculinity dapat membentuk pemikiran laki-laki untuk tidak boleh menangis, sensitif, emosional, sedih, kesakitan, dan lain sebagainya, yang sebenarnya hal-hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Perasaan dan emosi, termasuk rasa sedih pada setiap manusia adalah hal wajar. Namun, adanya toxic masculinity membuat laki-laki kerap memendam perasaannya dan kesulitan untuk terbuka untuk setiap masalah yang dihadapinya. Laki-laki menjadi merasa takut untuk merasa sedih, sensitif, dan rapuh.

Tak hanya pada lelaki, toxic masculinity rupanya juga dapat berdampak bagi perempuan. Ketegasan pada laki-laki yang terbentuk karena toxic masculinity dapat berbahaya bagi perempuan. Adanya toxic masculinity dapat membuat laki-laki menjadi lebih keras dan memungkinkan berujung pada kekerasan, baik dalam suatu hubungan maupun dengan perempuan lain, untuk menunjukkan ‘maskulinitas’nya. Sama berbahayanya dengan menormalisasi berbagai tindakan kasar laki-laki dengan dalih “boys will be boys”. Hal ini dapat memebentuk pemikiran dan memberikan kesan kepada para laki-laki bahwa menghargai perempuan dapat mengurangi maskulinitas mereka.

Jika terus berlangsung, toxic masculinity dapat menimbulkan fragile masculinity. Fragile masculinity adalah perasaan cemas yang dimiliki laki-laki untuk melakukan suatu hal karena takut terlihat tidak maskulin. Padahal pada kenyataannya, setiap manusia pasti memiliki rasa lelah, lemah, sedih, sensitif, dan rapuh. Tidak perlu ada kewajiban “laki-laki harus selalu kuat mental” karena laki-laki juga manusia yang memiliki perasaan dan emosi.

Dari sisi agama dan budaya memang menetapkan bahwa sudah menjadi tanggung jawab laki-laki untuk menjaga, namun jangan sampai hal tersebut berujung pada munculnya toxic masculinity karena ternyata juga dapat berdampak bagi perempuan dalam hubungan rumah tangga. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan harus dapat saling menjaga dan melindungi. Sehingga dapat terjadi equity dan tidak memuncul stigma bahwa hanya laki-laki yang berkemampuan untuk menjaga perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun