Namun dalam sekejab, saya pun tersentak ketika para penonton bertepuk tangan memberikan apresiasi kepara para peserta itu.
Aah, drama ini begitu indah dan menarik untuk dipertontonkan. Sayangnya, hanya beberapa warga saja yang bisa menikmatinya. Karena, tak semua warga bisa masuk ke dalam area Pendopo Agung Trowulan.
Padahal, "pesta rakyat" seperti ini harus dinikmati oleh semua orang  mulai dari awal hingga akhir. Bukan hanya melihat pertunjukkan kirab para remaja yang memamerkan kostum dan hiasan wajah saja.
Menurut saya, drama musikalisasi legenda rakyat seperti ini seharusnya tidak hanya dipertontonkan untuk para tamu undangan saja. tapi, juga semua masyarakat yang sudah sejak pagi mengantre di sepanjang jalan demi  mendapatkan tempat duduk yang pas meskipun harus beralaskan koran.
Ya, semoga tahun depan pemerintah daerah lebih "melek" lagi dalam membuat event tahunan yang digandrungi oleh masyakarat ini.
Tak jarang, para orangtua terpaksa menggendong anak-anak mereka demi melihat pertunjukan drama yang ditampilkan kurang lebih sepuluh menit itu.
Mungkin, ini sudah menjadi kebijakan para panitia mengingat area Pendopo Agung Trowulan yang tak begitu luas jika harus menampung ribuan warga. Apalagi, masih ada panggung-panggung besar untuk para tamu undangan, membuat halaman yang digunakan area parkir pada hari-hari biasa itu menjadi sempit.
Oh iya, sebelum acara dimulai ada beberapa prosesi yang dilakukan oleh para pimpinan daerah ini. Yakni, penyerahan pustakan sebagai simbol acara akan dimulai. Pustakan itu ada empat bentuk.
Pustakan pertama bernama pustaka Mataka Majapahit, yang merupakan simbol pada masa Kerajaan Majapahit harus dibawa oleh raja atau penguasa di daerah. Dan dalam prosesi ini, pustaka tersebut diberikan langsung kepada Wakil Bupati Mojokerto Pungkasiadi.
Untuk pustaka kedua yakni Payung Songsong Gringsing yang melambangkan pengayom, pada kirab ini diberikan Kepala Kejaksaan Negeri, Lubis.