“Semuanya itu ada harganya, jika seseorang baik di satu bidang maka ada bidang lain yang sama sekali tidak ia kuasai. Semakin besar harga yang harus ditanggung, semakin besar pula bakat yang seorang miliki itu.”
Kata-kata ini yang aku katakan pada salah satu temanku tadi pagi. Aneh rasanya kalau aku mengatakan ini. Aneh bukan karena aku yang sok bijak atau gimana, tapi aneh karena aku sendiri belum begitu memahami arti dari kalimat ini. Sebenarnya bukan belum memahami, lebih tepatnya aku belum menerima beberapa esensi dari kalimat ini. Alasannya begini, aku bukan tipe orang yang dikaruniai sifat optimis yang cukup besar. Aku lebih sering mengatakan ini realistis ketimbang menyebutnya pesimis, hal itu karena masih banyak hal positif di dalamnya. Lalu ke yang lebih spesifik, bakat, berkah. Aku belum menemukan sesuatu yang bisa kukerjakan sebaik itu. Bakat, suatu hal yang belum bisa kutemukan dari dalam diriku. Aku sudah mencoba, tapi terlalu banyak hal yang tidak bisa kulakukan dengan baik hingga menutupi hal itu.
Kadang aku merasa iri pada teman-temanku. Mereka memiliki sesuatu yang orang lain belum tentu bisa melakukannya sebaik mereka, sementara aku? Satu hal yang perlu dititikberatkan disini. Aku tidak pernah menyebutkan bahwa aku tidak memiliki bakat atau kata-kata lain yang menuju ke kegalauan. Aku hanya menyebutkan bahwa aku belum menemukannya. Ini sama sekali berbeda, jauh berbeda. Intinya, sampai sekarang aku masih mencari dan walaupun perlu waktu yang sangat lama untuk menemukannya, aku akan menerimanya. Itu konsekuensi yang harus aku ambil jika menginginkan hal sebesar itu.
Kalau aku sih berpikir positif aja. Anggap saja seperti ini. Semakin sulit aku menemukan sesuatu, semakin berharga pula sesuatu yang akan aku temukan kelak. Ini buakn sekedar omong kosong. Satu hal yang akan aku yakini. Aku punya bakat. Dan aku akan menemukannya. Ini kepastian, bukan sekedar permainan kata yang berputar-putar tanpa arah yang membuat hidup kita semakin sulit untuk dijalani setiap harinya. Dan aku akan memegangnya.
Jujur saja aku sering merasa bahwa hidupku jauh di bawah orang lain di sekitarku. Mungkin itu juga salah satu hal yang membuatku iri pada mereka. Hampir semua hal yang mereka lakukan berakhir baik, berjalan mulus. Kadang ini juga menjengkelkan, karena yang terjadi pada hidupku adalah sebaliknya. Tapi akujamin itu tidak akan berjalan terlalu lama. Zoom in, zoom out. Teringat materi PROKM ITB 2011 yang lalu. Sesuatu yang sangat indahpun pasti memiliki kekurangan, dan dalam prosesnya pasri tidak akan selancar apa yang direncanakan. Semua ada rintangannya, dan bukan sekedar rintangan kecil yang datang jika tujuan yang ingin diraih adalah sesuatu yang besar. Jadi iri pada hal ini karena keindahan dan kelancaran prosesnya bukan suatu yang baik untuk dilakukan. Tapi jika iri untuk mendapatkan hikmah dari setiap kejadian di dalam proses itu, maka itu akan sangat bermanfaat.
Satu hal yang juga terjadi hari ini mengingatkanku pada tulisanku sebelum ini. Ayah. Ya, mungkin memang cara Ayahku untuk menunjukkan perhatiannya berbeda dengan cara orang tua lain menunjukkan perhatiannya pada anak-anak mereka. Aku yakin pada Ayahku. Walaupun aku bukan tipe anak yang penurut, setidaknya aku masih tau diri untuk menyadari apa saja hal yang benar-benar membuat Ayahku marah. Mungkin Ayahku bukan Ayah paling baik sedunia. Tapi itu tidak apa-apa. Aku mengerti dan memahami hal itu. Dan aku juga tidak akan menuntut terlalu banyak kepada Ayahku. Karena aku tahu, tanpa aku mintapun beliau sudah melakukan banyak hal untukku. Dan itu sudah cukup bagitu.
Lalu aku mengingat Ibuku. Mungkin benar, kedua orang tuaku tak seperhatian orang tua yang lain. Tapi itu tidak penting. Sama sekali tidak penting. Walaupun aku juga tidak menyangkal kalau aku menunggu telefon dari mereka setiap sabtu, tapi aku juga tidak akan mengeluh kalau Ayah atau Ibuku tidak menelefonku. Aku sudah besar sekarang, itu tandanya kedua orang tuaku sudah mulai percaya padaku. Mereka mulai yakin bahwa aku sudah bisa menjaga diriku sendiri. Jadi bukan tempatnya lagi kalau aku merengek dan meminta macam-macam. Atau malah membuat mereka kecewa dengan perilakuku.
Jadi intinya, judul ma isi nggak nyambung.
hahaha…. sudahlah….
Aku bukan orang yang pandai mengungkapkan perasaanku lewat kata-kata. Dan aku juga bukan orang yang dengan mudah mengakui apa yang aku rasakan. Tapi setidaknya aku menyadari dan orang lain tahu bahwa aku memiliki perasaan semacam itu. Jadi bukan masalah yang besar ketika orang lain salah paham dan menganggap apa yang kulakukan keterlaluan. Ini aku, ini hidupku. Apa urusan mereka?
Kemarahan, api, bumi, perasaan, dinding, jarum, kuil, kantin, hati, inti, fisika, dunia, jantung, dan insan.