[caption caption="Sumber: www.itoday.co.id"][/caption]Ustad belabel artis, ustad berlabel pengusaha, ustad berlabel politikus ataupun sebaliknya memang sedang booming bak batu akik. Apalagi Ustad yang berlabel tiga istilah itu sekaligus, pasti menarik, terutama bagi golongan ukhti-ukhti dengan predikat mama muda dan juga penulis yang bergolongan papa muda. Salah satunya adalah Ustad Yusuf Mansur.
Tapi, sang ustad idola, baru-baru saja dengan percaya diri melontarkan pernyataan yang menurut hemat penulis, lebih pantas dikeluarkan oleh calon pemimpin Jakarta yang kemungkinan kecil akan berhasil. Memang sih, sang ustad ini pernah ikut ber-riang gembira dalam bursa bakal calon gubernur namun akhirnya mundur, mungkin karena sadar lebih baik ber-dakwah sambil tetap berbisnis. Tapi tetap saja power of sindrom dari sang ustad ini kok kayaknya belum luntur. Apa sih omongaannya?
Ada tiga point intisari ucapan sang ustad:
- "Maka kita bisa meminta anak SD, SMP, dan SMA untuk enggak usah pulang sekalian dari sekolahnya,".
- Semua sekolah di Jakarta bisa dijadikan boarding school atau sekolah asrama. Rumah-rumah di sekitar sekolah bisa dimanfaatkan menjadi asrama siswa.
- Semua pembiayaannya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Yusuf yakin kebijakan itu akan menekan angka kenakalan pelajar di Jakarta.
"Jakarta bukan cuma zero macet, tapi juga zero tawuran, dan zero nongkrong," ujar Yusuf.
Dengan kebijakan itu, kata Yusuf, bisa menjamin Jakarta tidak macet karena tidak ada kegiatan pergi dan pulang sekolah.(www.kompas.com)
Nah, sudah terkejut? Mari kita telaah point per point:
Point pertama, ini jelas mengusik ketenangan para ukhti dan mama muda yang anaknya masih bersekolah di SD, SMP dan SMA. Betapa tidak? Dengan anak ada dirumah pun, para mama ini begitu pusingnya memikirkan soal anak. Berikut kepusingan para mama yang bisa kami rangkum:
A. Pusing bagaimana memberi gizi anak dengan baik ditengah kalutnya harga daging, bawang dan cabe merah.
Orang tua adalah pihak berwajib yang paling mengetahui kondisi kesehatan anak. Penulis sewaktu kecil pernah merasakan bagaimana pertempuran harga antara sang mama dengan penjual daging dan ikan di pasar. Satu kata-katanya: “Ya biar pas-pasan, yo kamu tetep makan ikan daging, biar pinter”. Demi kata-kata itu, sang mama rela berjibaku, bahkan kalau perlu baku hantam demi harga bintang satu, gizi bintang lima.
Lalu sekarang gizi dan kesehatan anak ingin di bebankan kepada pihak lain? Ini sebuah bentuk mosi tidak percaya kepada kedaulatan sang mama yang masih mampu menanggung gizi anaknya. Jelas tidak dapat terima.
B. Pusing memikirkan pergaulan anak, antara gadget dan teman nyata
Sudah bukan basa-basi lagi kalau si anak saat ini adalah obyek penderita dari hasil teknologi. Mari kita lihat beberapa sisi negatif gadget terhadap anak.
- Anak menjadi kurang peka terhadap lingkungan, berakibat pada egoisme.
- Pornografi
- Kekerasan, efek dari game