Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Nabi Ibrahim dan Haji Harus Tunduk pada Politik

13 September 2016   09:48 Diperbarui: 13 September 2016   17:14 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar lima bulan yang lalu saya menulis di Kompasiana menyoal kata-kata "pret" Mama Dedeh yang secara tidak langsung ditujukan kepada YIM setelah acara keagamaan yang diselingi oleh politik ala kekinian. "Pret", adalah kata-kata "pisau" yang mewakili perasaan segenap masyarakat terhadap calon pejabat yang banyak mengumbar janji.

Yang jadi persoalan, seluruh janji, seluruh orasi dan seluruh ornamen politik tumpah ruah tanpa kendali dari sang calon pejabat, bukan cuma satu calon pejabat, tapi dua, tiga bahkan semakin ramai seperti euforia, euforia keagamaan yang hiperbolik muntab tanpa estetika.

Pun begitu dengan pagi kemarin, di pagi nan cerah, dimana takbir berkumandang dengan suara kambing, domba dan sapi sebagai backing vocal, berirama syahdu membawa langkah kita ke lapangan untuk mengingat lagi konteks lebaran kurban.

Lebaran yang bukan lebaran biasa. Kali ini lebaran kurban, atau lebaran haji, lebarannya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Karena dari kedua Nabi itulah turunlah perintah Tuhan untuk berkurban, di hari Idul Adha ini adalah hari dimana kita dan kalian semua umat Islam untuk mengingat sejarah dua Nabi itu.

Bagaimana kita bisa melupakan, sedangkan dahulu kala Nabi Ibrahim bisa mendobrak seluruh tatanan logika manusia hingga hari ini dengan hanya percaya pada mimpi. Bayangkan jika hal itu di aplikasi di masa kini, atau katakanlah masa tahun 30an. Nasib Nabi Ibrahim sudah berakhir di balik jeruji besi dengan dakwaan percobaan pembunuhan berlatar belakang mimpi, Nabi Ibrahim sudah dituduh seorang psikopat, tak ada bedanya dengan Sumanto.

Tapi di waktu itu, Nabi Ibrahim sudah jauh melampaui nalar orang-orang di masa kini, dengan hanya bermodal keyakinan yang hakiki terhadap Tuhan, ditambah juga luar biasanya sikap Nabi Ismail atas ke ide ayahnya.

Bayangkan nih, bayangkan jika anda mendengar ayah anda berkata "Aku harus mengorbankan kamu atas perintah Allah melalui mimpi". Apa yang anda lakukan? Pasti anda akan berkata ala Cinta di AADC 1, "Sakit jiwa!"

Jadi sudah seyogyanya jika apapun masalah negri ini, yang namanya Idul Adha tidak pernah bisa lepas dari kisah Nabi Ibrahim, masalah kita itu masih berkategori "apalah" jika dibandingkan dengan problema Nabi Ibrahim, apalagi soal politik yang..aduh, mas mbak.

Jadi kembali di pagi pasca sholat Idul Adha, saya menemukan khutbah dengan tema politik alih-alih mengingatkan kita dengan esensi berkurban ala Nabi Ibrahim. Ya kembali, karena ini yang kali kedua. Yang pertama ketika khutbah Idul Fitri lalu, meskipun ketika itu tema politik sangat jauh dari esensi kembali fitri, tapi saya sudah berusaha melupakan, tapi kok..eh, terulang lagi.

Apakah Tuhan memang sudah pantas untuk diduakan oleh politik? Apakah tema mengingatkan umat tentang pengorbanan dan berbagi Nabi Ibrahim sudah tidak penting lagi? Apakah sudah tidak ada lagi panggung untuk berbicara politik sehingga panggung Nabi Ibrahim rela di seruduk oleh kepentingan "5 tahunan"?

Terus terang, saya sudah eneg dengan fenomena khutbah politik. Karena tidak ada politik yang tidak berkepentingan, semua punya maksud. Alangkah naif pula jika hanya bermaksud agama, agama disini hanya sebagai embel-embel, menyedihkan, pathetic.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun