Saya dalam antrian panjang di restoran ayam goreng ketika teman saya berkata di whatsapp..
"Bro, ane baru nemu lontong sayur enak di Bandung, enak banget dan halal, ane mau bikin kayak gini di Jakarta, tapi namanya lontong syariah, keren gak?"
"Keren aja, tapi emang harus ada syariahnya ya?"
"Iya donk bro, itu menandakan kita menjamin halal masakan kita"
"Emang ente mau buat lontong pake minyak babi?"
"Ya enggak lah brur, tapi klo ada label syariahnya, kesannya produk kita itu pro muslim, pasti lebih laris, ini aja bini bikin clothing baju muslim pake syariah, laris"
"Emang fast food, gak jelas gitu bro" Tambahnya.
Sigh, saya berhenti mendebatnya, bukan cuma janggal soal halal haram sebuah lontong, tapi kok sudah berani memperdagangkan Tuhan itu lho, edian!
Agama sudah serampangan dibuat alat dagang, hitungan untung rugi. Padahal kawan saya itu termasuk pionirnya ustad sosmed, alias rajin memberikan tausiyah agama via sosial media. Tak jarang saya mengamini dan klik share.
Tapi kok sampai sejauh ini? Secetek pemahaman saya, yang di adopsi dari agama untuk berdagang itu adalah caranya, label halal atau haram adalah cara/alat informasi bahwa yang kita jual itu memang betul halal. Kalau ini sih namanya demam syariah.
Berdagang harus jujur, apa perlu kita melabeli gerobak kita dengan "ditanggung jujur"? Jujur itu kewajiban si pedagang, kalau curang yang akan merasakan azab ya si pedagang. Kecuali makanan, cukup anda mensertifikasi dengan label halal MUI, itupun klasifikasi besar, kalau bakso/mie ayam pinggir jalan bagaimana? Bukan cuma tester tapi juga biayanya. Nah lho, susah kan.