[caption caption="Koleksi Pribadi"][/caption]Dengan berwajah datar, wanita itu masuk ke sebuah café di pojok kota yang tampak lelah, di sore selepas bercinta dengan nasib. 7th Avenue St Manhattan, terpampang jelas di depan café. Hanya dengan melihat wajahnya, sang barista dengan sigap langsung tahu apa yang harus dia lakukan, secangkir Flat White.
“With two pieces brown sugar, right?”
“Yes, please”
Flat White, kopi yang puitis, jenis kopi yang selalu menggelegak dalam penatnya, kadang membuatnya tertawa, kadang membuatnya beraroma penguk dalam hilir mudik kota, kadang membuatnya hanya ingin muntah, ya hanya ingin muntah. Wajar saja, historis kota ini sudah dihapalnya dengan baik, dan itu tidak ada yang membuatnya merasa normal, kadang memang harus gila mungkin. Tapi toh aku hidup, begitu pikirnya, jadi lebih baik ku muntahkan saja.
Tapi kali ini, dia tak lagi berwajah datar, sahut teman sang barista. Lihatlah, ketika tadi masuk, dia berwajah datar, sedatar nama kopinya, tapi lihatlah sekarang, dia bagai awan kelabu tercoreng garis pelangi, seperti mendung tersirap surya.
Ah, pikir sang barista. Eh, tapi benar juga.
“Flat White?” Tanya sang lelaki yang dihadapnya.
“Ya, betul, darimana kau tahu?” ujar Kenanga.
“Kau cemburu ya?”
“Hah, aku mati rasa!”
“Tak, kau cemburu, karena aku tahu nama kopimu padahal aku belum tahu namamu”