[caption caption="Ilustrasi: news.xinhuanet.com"][/caption]Tiga tahun lalu, penulis pernah adu argumen dengan seorang kawan di proyek, sebetulnya perihal yang biasa saja, tidak ada yang istimewa kecuali ke-ngototannya soal kualitas Industri Tiongkok yang katanya sudah insyaf, sudah mendapat wangsit, wangsit yang uenak untuk teman sore hari cari inspirasi menulis.
Terus terang, penulis adalah orang yang bisa dibilang; "ya gitu deh" dengan produk Tiongkok, terutama jika menyangkut teknologi, contohnya lho; boiler di Lampung yang bisa tiga kali jebluk dalam sehari, padahal belum beroperasi full, itu yang kelas berat, yang kelas ringan? Alat bor, kunci, senter, sampai hp yang bunyi casingnya ngerenet-ngerenet minta dielus tukang servis.
Ya gitu deh...
Tapi teman penulis ini beda, orang asli Wonogiri tanpa ada embel-embel WNI "keturunan" namun tetap bertahan dengan argumen bahwa barang-barang Tiongkok sudah berubah, berwangsit, berevolusi, apapun itu, entah teknologi atau bahkan sekedar jagung.
Jagung, komoditas yang sebelumnya sebagai panganan babi mulai naik kasta menjadi komoditas panganan manusia. Katanya sekarang, omzet jagung Tiongkok bisa melesat hingga 300% per tahun. Tiongkok saat ini tidak lagi melulu soal harga "asal masuk" kantong kaum jongos-proletar, tetapi kualitas.
Wah hebat! Lantas harga nomor berapa? Nomor satu setengah (katanya).
Toh, adu argumen itu akhirnya berhenti dan kami memilih untuk melihat hasilnya dari proyek yang sedang kami kerjakan, yang ternyata masih dimenangkan oleh penulis. Omongannya masih sebatas angin, penulis tetap dalam argumen bahwa kualitas made in C masih dibawah level meragukan alias ngenes.
Tetapi kemarin di Supermarket, hal itu mendadak berubah. Penulis melihat ada sekumpulan jagung dengan bungkus plastik vacuum berwarna kuning terpampang genit di etalase sayur mayur, warnanya kuning mulus, harganya sekitar 34 ribu per buah, cukup mahal untuk ukuran jagung manis apalagi untuk kaum jongos-proletar, jangan mimpi.
Jagungnya sih mengundang selera, yang meragukan adalah tulisan made in C dibungkusnya, tapi kok ya hati ini sudah kadung kangen, rindu menggebu seirama lirik Imam S Arifin pada sepiring bakwan jagung. Ego pun mengalah, kantong pun pasrah, maka jagung tersebut duduk manis di keranjang belanja.
Sampai di flat, jagung kemudian kami nikmati bersama, dan..Eurekaa!!! rasanya sungguh sangat enak, nikmat, warnanya kuning rata, tanpa ada cacat, rasanya sungguh manis, manis alami. Kami jadi norak, jagung vacuum package made in C lainnya. Cilacap pun bahkan tak seenak ini. Ini betul-betul enak, Tanpa sadar kami habiskan juga jagung itu dan malah lupa untuk masuk ke adonan bakwan.
Inikah produk Tiongkok? Produk yang selalu penulis anggap medioker? Penulis kembali ingat obrolan dengan si teman dan iseng menulis email pengakuan. Ketika menerima email balasan darinya, dia berucap: