Mei 1957. Pagi itu, kesibukan terlihat di ruang tamu rumah besar seorang begawan ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Soemitro dan keluarga sedang persiapan packing, mereka berencana ke luar negeri. Soemitro ingin menghindari konflik antar dirinya dengan pemerintah. Lebih tepatnya menghindari pemeriksaan ketiga dirinya oleh CPM mengenai kasus korupsi : Memberikan dana kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Sumitro menatap nanar kepada anak lelakinya, Prabowo. Prabowo yang tampan menatap tajam. Seakan ingin bicara kepadanya. Sumitro mengerti hal ini, lalu kemudian menurunkan tubuhnya, sejajar dengan Prabowo, dan berkata:Â
"Apa yang mau kau katakan, nak?"
"Apa pergi ke luar negeri adalah solusi Ayah? Maaf Ayah, tapi mendekam di penjara lebih mulia daripada lari ke luar negeri, menghadapi persoalan negeri lebih baik daripada tidak membawa solusi, negeri ini butuh Ayah, Ayah buktikan tidak bersalah dan kami-kami akan selalu mendukungmu" Ucap Prabowo muda dengan suara mantap.
Soemitro tertegun, baru kali ini dia mendengar anak lelakinya senasionalis itu.
"Ayah, didik kami untuk mengenal Indonesia, bukan Eropa, bukan Amerika, bukan Jepang dan bukan Bangkok" Sambung Prabowo muda.
Mata Sumitro berkaca-kaca, dia lantas berdiri, dan berucap: "Dora, batalkan penerbangan, batalkan pula perjalanan ke Padang, kita disini, hadapi semuanya" Ujarnya mantap.
"Nak, kau anak yang hebat, sayangilah sesamamu, saudaramu dan negara ini" begitu pesan Sumitro pada anaknya.
Sumitro dan keluarga akhirnya tidak jadi ke luar negeri. Beberapa hari kemudian, CPM menjemput Sumitro dirumah, ini adalah pemanggilan ketiga yang artinya Sumitro harus ditahan.
Sumitro akhirnya memang ditahan, namun terus melakukan pembelaan melalui pengacara. Karena ditahan, aktivitas Sumitro di PRRI pun perlahan redup. Beberapa tahun kemudian ketika PRRI ditumpas, nama Sumitro sudah tidak ada, bersih dari segala tuduhan pemberontak, tidak ada aliran dana atau jabatan Menteri disana.Â
Hasyim dan Prabowo melanjutkan sekolah di dalam negeri, dengan penuh rasa cinta, salah satunya dari Jendral A.H Nasution sebagai balasan atas kebesaran hati sang ayah untuk menghadapi kasus hukum ketimbang kabur ke luar negeri. Hasyim kemudian menjadi pebisnis dan Prabowo masuk militer.