"Mereka yang menyebar ketakutan dan menang, hampir selalu berubah menjadi Tiran".
Begitu kata seorang Kakek tua yang saya temui di gerbong restorasi Kereta Api Jurusan Lempuyangan-Pasar Senen. Sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula sang Kakek bercerita tentang masa tahun 1965.
Dulu, kata beliau. Kami semua terkejut ketika diberitakan di radio bahwa banyak Jenderal yang tewas di bunuh Komunis, kami dibuat ketakutan akan gerakan komunis. Tetangga saya bahkan dibunuh di depan anak istrinya karena diduga terlibat gerakan buruh. Kami di buat takut sekali saat itu.
Padahal tidak pernah sekalipun tetangga saya itu mengganggu kami, bahkan terlibat gerakan mencurigakan. Terlibat gerakan buruh itu biasa. Ayah saya petani, beliau pun petani. PKI mendukung petani dan buruh, massa PKI banyak disekitar golongan itu. Kegiatan petani dan buruh saat itu ya sama saja dengan kegiatan serikat buruh saat ini, demo minta upah naik, harga gabah di perbaiki dst. Wajar. Suara PKI sangat tinggi saat itu. Kesalahan PKI saat itu ialah mereka minta dipersenjatai.
Dan kemudian Presiden dituduh gembong gerakan Komunis. Kami tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Soekarno membunuh Yani, Jenderal kesayangan beliau sendiri. Padahal Yani adalah pendukung Sukarno. Meskipun Yani pro Barat, dan Soekarno pro Timur, tak mungkin Soekarno sampai tega membunuh Yani yang masih dengan piyama.
Soekarno ingin menggabungkan Komunis dan Pancasila bersatu, ya, tapi sampai membunuh lantaran Yani menolak buruh dipersenjatai, saya rasa tidak. Ujarnya nanar.
Sampai saya sadar bahwa kami ini ditakut-takuti. Gembong PKI dan simpatisannya di bantai dimana-mana. Andaikan benar PKI adalah pelaku pembunuh 6 Jenderal, apakah sampai sedemikian balasannya hingga terjadi pembantaian massal?
Pembantaian tersebut adalah gerakan politik ketakutan yang dibawa calon penguasa. Untuk apa? Untuk berkuasa tunggal.
"Tidak main-main lho mas.." Matanya tajam menatap saya.
"Yang dibantai itu jutaan manusia, itu genosida.."
Genosida menimbulkan ketakutan permanen hingga 30 tahun bagi rakyat kita. Keuntungannya? Indonesia harus dipimpin oleh "dia yang berkuasa", karena di otak rakyat, hanya "dia yang berkuasa" yang mampu melindungi negeri ini. Dia korupsi? Tak apa, yang penting rakyat aman dari komunis.