Menarik sekali apa yang terjadi kemarin: Ahok dinyatakan bersalah dan dihukum 2 (dua) tahun penjara atas kesalahannya yang dianggap menista ayat suci Al Qur'an. Ini sudah banyak dibahas apa dan mengapa. Tapi yang lebih menarik lagi adalah caption instagram dari salah seorang staff Ahok di Pemda DKI, dengan nama ig @alkira_faslah yang memposting foto Ahok berseragam safari khas pegawai Pemda dengan caption "Foto kemarin, bapak bilang "fotoin rif, Bsk2 ga bakalan bisa pake baju ini lagi soalnya"
Menjadi menarik kan, apa iya memang Ahok sudah tahu bahwa dia akan divonis bersalah? Atau jangan-jangan dari jauh-jauh hari Ahok sudah tahu bahwa beliau akan di tahan? Lalu apa artinya?
Tak dinyana lagi, keputusan Ahok tersangka merupakan sebuah keputusan politik hasil pemikiran mendalam, bukan hasil dadakan seperti tahu bulat. Politik bukan tahu bulat, politik adalah sebuah rancangan berjangka yang diukur secara presisi, harus akurat dan tanpa emosi. Ahok sudah tahu bahwa beliau akan menjadi "tumbal" politik untuk kepentingan yang lebih besar dan luas.
Apa kepentingannya? Pertama adalah kepentingan kerja. Bayangkan jika Ahok divonis bebas, mau jadi apa para masa penuntut yang menunggu di depan persidangan? Tentu saja yang pertama adalah ngamuk, saling bakar dan aksi vandalis akan menjadi trending topik headline malam ini (9/5/17), lalu disusul demo nomor cantik yang tiada habisnya, saling sindir di parlemen dan media sosial, kehidupan sosial menjadi terganggu, ceramah-ceramah penuh kebencian terhadap pemerintah akan memenuhi masjid-masjid yang seharusnya mengajarkan kearifan dan keteduhan hati, apalagi ini menjelang bulan Ramadhan yang suci. Tujuannya satu; Presiden akan di cap anti-islam, Presiden Jokowi harus lengser, kalau bisa malam ini juga.
Sudah jamak di analisa bahwa Ahok sebagai batu loncatan untuk tujuan politik yang lebih besar, yaitu pelengseran Presiden, jadi wajar jika istilah "makar" menjadi trend. Pelengseran Presiden tanpa ada hal khusus yang menyertai bisa dianggap sebuah tindakan "makar".
Bayangkan apa yang terjadi jika setelah vonis bebas lagi-lagi Fadli Zon atau Fahri Hamzah turun kejalan lalu berorasi turunkan Presiden? Kali ini fatal, Ahok bebas adalah sebuah umpan manis bagi penyuka demo nomor cantik, Raja menyelamatkan kuda tetapi membuka ruang skak mat.
Jadi, pernyataan Ahok di caption instagram di atas adalah logis, beliau sudah tahu bahwa akan di vonis bersalah. Dengan Ahok di tahan, demo akan berkurang bahkan hilang, ceramah kebencian akan berkurang dan kehidupan bersosial media dan bermasyarakat nyata akan menjadi lebih tentram, hasilnya Pemerintah akan lebih terfokus pada kerja.
Sangat banyak PR Pemerintah, saya sendiri mengalami genjotan agresifitas Pemerintah di dalam menggenjot proyek infrastruktur, pambangkit listrik bahkan penambahan kapasitas pabrik gula di Jawa Tengah demi tercapainya swasembada gula, cita-cita yang tidak pernah kesampaian dan ini sedang dikejar.
Hal-hal demikian tidak mungkin bisa tercapai jika terus menerus diganggu oleh aksi-aksi dan penyataan-pernyataan yang bikin gerah, ini harus dihentikan segera. Dan salah satunya, Ahok dibiarkan beraksi sendiri untuk membuktikan beliau bersalah atau tidak, Presiden pun membuktikan bahwa tidak ada intervensi politik terhadap kasus hukum Ahok. Presiden tidak bisa di cap sebagai pelindung Ahok. Area skak mat sudah tertutup.
Kedua, ini akan menjadi langkah politis taktis untuk Presiden Jokowi dalam menimbang situasi terkini, apalagi kalau bukan tindakan selanjutnya untuk memberi rasa adil bagi seluruh bangsa. Ahok sudah tervonis, sehingga keadilan selanjutnya adalah proses dan eksekusi bagi lainnya termasuk Rizieq Shihab dan pembubaran HTI yang sudah diumumkan sehari sebelum sidang vonis Ahok, perkara caranya via jalur hukum atau yang lain, itu lain soal.
Presiden akan menjadi lebih tenang dalam bekerja dan juga tenang dalam menimbang siapa musuh yang harus "dihabisi" dan siapa musuh yang bisa dijadikan kawan, juga siapa musuh dalam selimut dan siapa yang sengaja berbulu domba. Menjadi sebuah titik terang apa alasan Presiden ketika mengunjungi Prabowo dan kemudian berkuda bersama. Mungkin bagi kebanyakan orang hal ini tidak nyambung, tapi bagi para penyuka teka teki simbolik, ini saling berkaitan.
Dalam jangka waktu dekat mungkin para anti-ahok masih gengsi untuk mengakui bahwa tidak ada alasan lagi untuk demo nomor cantik, tidak alasan lagi untuk intervensi Presiden, tidak ada alasan lagi untuk nyinyir di sosial media terhadap pemerintah saat ini.
Mereka akan tetap nyinyir, hingga pada akhirnya tidak ada alasan satupun untuk dinyinyiri dan kemudian menyerah. Masih ramai di sosial media saya membaca beberapa postingan ingin Presiden diganti, entah karena alasan apa, suatu alasan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan.
Lalu bagaimana dengan Ahok? Apapun kesalahan Ahok, harus diakui dengan kepala jernih bahwa beliau adalah sosok yang legendaris, mampu bekerja dan cerdas. Sosok dengan performa seperti itu bukanlah sosok yang lantas hilang di telan waktu. Ahok itu ibarat balak enam, butuh strategi yang matang untuk menjadikannya kartu pemenang atau saat ini, masih menjadi beban bagi langkah pemerintah. Ahok bisa menjadi kartu truf, hanya di tempat dan waktu yang tepat (golden moment).
Silent Majority
Salah satu yang patut ditunggu ialah kebangkitan silent majority di Indonesia. Silent majority ini unik di semua negara, mereka mayoritas terdiri dari kaum pekerja, karyawan, beberapa pengusaha yang terkesan masa bodoh dan cuek terhadap keadaan, mereka lebih mementingkan urusan perut ketimbang politik, tapi diam-diam mereka banyak mengamati perkembangan yang terjadi.
Anehnya silent majority ini justru banyak berasal dari kalangan nasionalis, karena umum diketahui, yang banyak show off adalah justru dari kalangan agamis, rajin berorasi bukan hanya di depan Balaikota, tapi juga di masjid-masjid, tak segan untuk berkumpul dan meneriakkan slogan.
Saya pernah menulis tentang hate spin agent, didalam Politics Enterpreneurs ala Cherian George di dalam bukunya “Hate Spin: the manufacture of religious offense and its threat to democracy”. Dimana dengan gamblang dijelaskan bahwa "para agen" membuat sebuah "produk" yaitu masyarakat, untuk bisa digiring dalam beropini atau berpolitik sesuai dengan tujuannya dengan membawa pesan kebencian, membuat ketakutan yang masif agar masyarakat bergerak sesuai arah tujuan si penggiring. Dimana cocok dengan kondisi Indonesia saat ini.
Kondisi politik yang coba di akali oleh Eep Saifulah Fatah dengan strategi yang saya namakan primordial marketing. Secara cerdas Eep mencoba memadukan isu priomordial yang menjadi ciri khas Indonesia dengan cara hate spin, pesan kebencian. Pesan yang diulang-ulang dengan ancaman ketakutan secara masif dan meluas, bukan hanya di Jakarta, tapi seluruh Indonesia. Kubu Ahok sudah tidak bisa bergerak lagi ketika langkah-langkah tadi menghadang, hanya bisa menangkis dengan banyak blunder.
Nah, setelah keberhasilan Eep tadi, mulai banyak pihak yang tadinya terlihat kalem mulai menunjukkan kegerahannya, inilah golongan silent majority yang saya maksud tadi. Strategi primordial sudah cukup merusak ternyata bisa membangkitkan golongan cuek ini, golongan yang tadinya merasa baik-baik saja lalu kemudian mulai terusik, mereka mulai berbicara di sosial media dan mulai berani membangun sebuah jaringan.
Patut ditunggu bagaimana kelanjutan silent majority ini, seharusnya ada ahli strategi yang sudah bisa menangkap sinyal ini dan kemudian menggunakannya dengan baik. Cerita Indonesia masih akan berlanjut, maka dari itu, lebih baik gelar tikar dan siapkan kopi terbaik.
Show must go on..
***
Artikel pertama di posting di blog pribadi: Di Sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H