Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

212, Payung Pak Presiden dan Strategi SunTzu

3 Desember 2016   00:07 Diperbarui: 3 Desember 2016   18:38 28837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alit Ambara @alit_ambara

Efeknya paten, aksi bela Islam menjadi murni bela Islam. Lawan pertama tidak banyak berkoar menjelang aksi, dikarenakan strategi 5 orang aktor sudah digagalkan. Apakah ada kemungkinan lawan pertama memanfaatkan strategi 5 aktor? Bisa jadi, di sini A mendompleng B, B pun mendompleng A. Jelas tertulis di surat yang dirancang oleh Sri Bintang Pamungkas bahwa mereka menginginkan adanya sidang istimewa MPR untuk mengganti Presiden dan Wakil.

So, itu semua steril. Intelijen mengatakan beres dan leluasa bagi Presiden untuk mengambil jatah panggung. Kenapa tidak ketika 411? Itu adalah strategi bersabar: Habiskan energi musuh untuk berkonflik. Jika Presiden tampil di awal, kemungkinan kita tidak akan pernah tahu bahwa Fahri Hamzah mengizinkan peserta demo untuk menginap di gedung MPR/DPR kan? Dengan bersabar, Presiden memiliki waktu untuk mempelajari konflik (management conflict), merancang pidatonya, yang lembut namun mengandung strategi tajam.

Dan kita hari ini, bisa melihat Presiden dengan percaya diri tampil di hadapan massa aksi 212. Pidato yang singkat, namun cukup membuktikan bahwa "Presiden tidak lari". Right man in the right place in the right time. Apakah itu semua kebetulan? Tentu tidak.

Spiral Kebisuan

Saya mengutip penjelasan Hilman Fajrian soal spiral kebisuan. Pada intinya adalah spiral kebisuan adalah teori komunikasi massa yang mengungkapkan pandangan mayoritas terhadap minoritas. Jika Hilman Fajrian membahas persoalan Ahok, saya membawanya kepada Presiden Jokowi. Mayoritas melihat seorang Joko Widodo adalah seorang yang lemah, mudah disetir, ndeso, dan kurang berwibawa (kategori minoritas citra pemimpin negara), kalah jauh dengan Prabowo atau SBY. Tetapi tahukah Anda, justru efek spiral kebisuan ini yang menjadi daya tarik.

Tidak pernah seorang Joko Widodo mengomentari langsung, "Saya prihatin melihat meme-meme di media sosial." Tidak, toh jika UU ITE dijalankan, itu sih sudah sewajarnya. Karena memang kelewatan. Tapi personal Jokowi yang nrimo tadi menjadi daya magis yang kuat. Beliau sangat tahu itu. Presiden tidak perlu meme yang ciamik, tidak perlu suara yang bagus dan pencitraan yang berlebih, sehingga leluasa bagi dia untuk merancang strategi. Pencitraannya hanya kerja nyata dan blusukan yang menjadi kebiasannya.

Tidak ada alasan yang kuat apa pun itu untuk menjatuhkan Presiden. Kerja tetap bekerja, IHSG sedang bagus-bagusnya, infrastruktur berjalan meskipun masalahnya banyak. Seorang haters yang waras pun akan mengakui bahwa tidak ada alasan makar, kecuali berkuasa. Presiden memanfaatkan momen itu, dan ketika beliau tampil pidato, sontak semua media memujinya. Spiral kebisuan yang dipendam lama, seakan dibuat bicara. Presiden ambil panggung.

Spiral kebisuan telah membuat jaket bomber yang dipakai Presiden menjadi trending topic, dan kali ini, sebuah payung yang sepele pun bisa menjadi viral. Padahal payung sejenis itu pun pernah dipakai Pak Mantan bersama mantan ibu negaranya, juga dengan memegang sendiri payungnya. Kenapa itu tidak jadi viral? Simpel, karena Pak Mantan sudah menonjolkan dirinya sendiri dulu, hal-hal yang tampak baik sudah dikeluarkannya tanpa publik meminta sehingga publik pun biasa saja. Tidak ada klimaks, tidak ada yang perlu diviralkan.

Presiden yang dicitrakan kurus dan ndeso, hari ini tampil berani, solat Jumat bersama peserta aksi, yang mana ini jelas membuat kebat-kebit Paspampres. Siapa yang menjamin tidak ada orang gila yang menaruh easy gun di sandal?

Lalu soal penistaan agama, bagaimana? Serahkan saja kepolisian, toh bakal ada persidangan, enggak bakalan lah ente ketinggalan episode. Siapkan popcorn, gorengan dan jangan lupa, kopi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun