[caption caption="Courtesy: www.metro.tempo.co"][/caption]Selama ini penulis tidak pernah mau untuk menulis soal hal-hal yang berbau Ahok, bukan karena anti-pati, bukan, tapi karena cukup jenuh dengan berita dan menghindari arus yang ada. Tapi malam itu setelah menonton ILC soal Sumber Waras, otak penulis mendadak menjadi hilang. Bukan karena topiknya yang berbobot, tapi justru sebaliknya.
Selama ini penulis coba menghindari penulisan untuk mendalami beberapa fakta tentang kasus Sumber Waras, ada yang bisa di jawab oleh Ahok ada juga yang tidak. Dan, ILC telah membuat penulis menjadi tertarik untuk menulis, tentu saja supaya otak yang kosong terisi kembali.
Mari kita berpikir waras, yang menjadi perihal masalah adalah temuan BPK sehingga ini menjadi isu adanya korupsi. Menurut teman-teman bidang hukum yang sering mendalami kasus perdata, kasus Sumber Waras termasuk sederhana, yang bisa disederhanakan menjadi 6 bagian saja.
1. Lokasi
Mari kita lihat peta di bawah:
[caption caption="Courtesy: www.kaskus.com"]
Tetapi dalam fakta apa yang tertulis pada dokumen sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tertanggal 27 Mei 1998, lokasi tanah berukuran 3.6 hektar itu terletak di Jalan Kyai Tapa, dengan status HGB No. 2878. Ada yang menyebut itu dokumen tahun 1978, entah betul atau tidak tapi fakta dari dokumen yang ada, dokumen itu tertanggal 27 Mei 1998.
Jika ada argumentasi dari BPK terhadap lokasi alamat, artinya sama saja mempertanyakan kualitas BPN. Lho? Ya iya dong, BPN adalah lembaga berwenang yang mengurusi soal tanah, dan hanya BPN yang berhak.
Jadi, kita jangan berdebat mengenai istilah zonasi, lokasi atau imitasi. Mudahnya, jika anda ingin beli tanah, kepada siapa rujukan data teknis bisa anda dapat?
Sayangnya, pertanyaan sederhana di atas tidak diajukan balik ke Karni Ilyas.
2. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
NJOP adalah angka yang mengacu juga kepada point 1, yaitu lokasi. NJOP seperti yang kita tahu bisa kita dapatkan di Kantor Pelayanan Pajak, apakah ada di tempat lain?
Nah, berdasarkan BPK, NJOP tanah Sumber Waras sebesar 7 juta/m2 karena mengacu kepada lokasi Jl.Tomang, sedangkan menurut data pelayanan pajak, NJOP sebesar 20,7 juta/m2 mengacu kepada Jl Kyai Tapa sesuai data BPN. Dan ini ditandatangani oleh Satrio Banjuadji, Kepala Dinas Pelayanan Pajak Daerah Grogol.
Ini bukan main-main lho, ini dokumen dinas pajak dan di tandatangani oleh Kepala Dinasnya sendiri. Jika BPK membantah, artinya BPK mempertanyakan kualitas BPN sekaligus Dinas Perpajakan.
Sebegitunyakah? Lalu kalau BPN dan Dinas Perpajakan tidak kredibel, lantas bagaimana dengan kami-kami ini yang awam jika ingin mengurus tanah / rumah, harus mendapat data darimana? Mohon lah, jangan bodohi kami.
Tapi dititik ini patut di cermati, karena ada indikasi (fakta?) bahwa Gubernur Ahok bertemu Kartini Muljadi, pengusaha pemilik Yayasan Sumber Waras pada 6 Juni 2014 dan disepakati NJOP.
Pertanyaan, mengapa Ahok turun langsung yang sepertinya adalah negoisasi?
3. Adanya kerugian negara
BPK menuding adanya kerugian negara sebesar 191 Milyar rupiah karena ada tawaran dari PT Ciputra Karya Utama pada tahun 2013 sebesar 564 milyar.
Faktanya, berdasarkan SIM PBB-P2 dari Direktorat Jendral Pajak, NJOP lahan Sumber Waras naik dari 12,2 juta pada 2013 menjadi 20,7 juta dari 2014. Ini dokumen Direktorat Pajak yang bisa dicek langsung kebenarannya. Saya pun awalnya tidak percaya, tapi karena membawa nama Direktorat Pajak, ini bukan main-main. Tempo memuat berita ini, sehingga jika memang ini salah, bukan hanya Direktorat Pajak, Tempo pun bisa kena tuntut.
Jika fakta ini menjadi tudingan BPK, lalu Dirjen Pajak pun dianggap tidak kredibel. Lantas siapa lagi yang bisa dipercaya? Apa kita harus ke BPK kalau ingin beli tanah?
4. Pembelian tanpa perencanaan dan kajian yang matang
Sebelum itu, ada artikel yang mengungkap soal penolakan Kemendagri terkait evaluasi APBD-P dan menolak anggaran pembelian tanah Sumber Waras karena tidak sesuai dengan Permendagri dan Perpres. Disitu tertulis 22 September 2014.
Logikanya, jika tanpa kajian artinya tidak mungkin disetujui DPRD. Tetapi pada point 4 ini, seluruh pembelian tanah Sumber Waras tersebut disetujui oleh DPRD - APBD 2014 di dalam KUA-PPAS 2014 Perubahan yang ditandatangani oleh Ferrial Sofyan, Triwisaksana, Boy Sadikin dan juga Abraham Lunggana alias H, Lulung pada tanggal 7 Nopember 2014.
Di point ini membuat geli, persetujuan ini ditandatangani lho oleh DPRD, dan empat orang itu jelas ada tandatangan fisiknya. Jika ingin masuk KPK, artinya empat orang ini pun harus diperiksa.
Toh artikel itu ternyata di bantah dengan pernyataan:Â
Evaluasi kemendagri lewat Kepmendagri No. 903-3717/2014 tertanggal 22 September 2014 justru meminta (bukan menolak) agar dianggarkan pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang berwenang sesuai tugas dan fungsinya.
Catatan tersebut tertulis dalam halaman 21 lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 903-3717 Tahun 2014 tertanggal 22 September 2014, sebagaimana yang diperoleh Aktual.com
Jika melihat persetujuan DPRD, maka pernyataan tersebut masuk logika.
5. Kecurigaan pembayaran hampir lunas dalam waktu singkat.
Ini point yang harus dijawab oleh Ahok selaku Gubernur, karena pada point inilah penulis pun merasa janggal. Untuk apa langsung dibayar 800 milyar pada 30 Desember 2014 seperti yang ada pada berita selama ini? Pertama, tanggal segitu biasanya sudah tutup buku, yang kedua peruntukannya masih entah kapan.
Hal ini menjadi masuk akal apabila memang proyek tersebut sangat urgent, seperti proyek-proyek PU dalam menghadapi libur lebaran. Tapi Sumber Waras beda, ini bukan proyek super urgent yang harus segera dibayar, dilunasi dan dikerjakan. Masih ada waktu, kecuali memang ada desakan khusus.
Tapi desakan darimana? Ini yang di telisik lebih jauh oleh KPK dan Ahok belum ada pernyataan spesifik alasannya soal ini.
Tapi toh jika melihat fakta dari point 1 sampai 4, wajar jika BPK dianggap 'ngaco'. Kecuali jika kita hanya memakai kacamata kuda ala Fadli Zon, sampai kapanpun Ahok tetap salah, Logisnya? emang gue pikirin.
6. Motif audit Sumber Waras
Point terakhir inilah yang cukup penting, bahwa ada 6 surat dari Efdinal, Kepala BPK Jakarta ke Pemerintah Ibukota pada 2013 yang meminta untuk membeli tanah seluas 9,618 m2 di Pemakaman Pondok Kelapa Jakarta Timur, dan karena surat tersebut tidak digubris oleh Joko Widodo yang waktu itu masih menjabat Gubernur dan juga Ahok, Gubernur saat ini.
Dari situlah muncul Audit Sumber Waras, bahkan Tempo menuliskan bahwa melalui Kepala Inspektorat, Lasro Marbun yang meminta Pemerintah DKI Jakarta membeli saja tanah di Pondok Kelapa jika tidak ingin Audit Sumber Waras dibuka. Wow!
Kesimpulan, Ahok sebagai Gubernur DKI memang jika dilihat dari point 1 - 4 tidak terindikasi adanya penyelewengan administrasi / korupsi, karena semua terkait bukti-bukti yang jelas dan otentik. Tetapi ada yang harus dijelaskan berkaitan dengan:
- Pertemuan dengan Kartini Muljadi. Tentu adanya indikasi pengaturan harga kesepakatan, meskipun harga akhirnya tetap di bawah harga pasar.
- Pembayaran sebesar 800 Milyar pada tanggal 30 Desember 2014, meskipun tidak melanggar UU Nomor 19/2012, Perpres Nomor 71/2012 dan Peraturan Mendagri Nomor 13/2006. Namun tetap saja, itu terlalu terburu-buru dan dipaksakan. Apakah harus masuk anggaran 2014?
Penulis yakin bahwa dua point ini tentu sudah dijelaskan juga ke KPK. Indikasi korupsi? Tentu ada, bukan hanya dari Ahok tapi juga dari pihak lain. Sehingga, penulis masih tidak habis pikir jika ada politikus anti-ahok yang 'menyerang' dengan kalimat "Faktanya sudah jelas, itu korupsi", fakta yang mana? Tidak ada satupun yang berfokus pada dua hal utama yang bisa menjadi masalah buat Ahok dan pihak lain yang terkait.Â
Tapi, biarlah KPK yang menjawab.
Salam
Â
*Fakta-fakta dokumen diatas (Point 1-4) semua dicantumkan oleh Tempo selaku media yang cukup terpercaya
Tulisan dimuat di blog pribadi, disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H