Jadi, kitalah yang harus berubah dan beradaptasi.
Lunturnya budaya "bapak gue"
Dan, fakta sosial lainnya adalah budaya oligarki zaman dahulu yang biasa berlindung di bawah ketiak penguasa, budaya membawa nama keturunan "bapak gue", "kakek gue" dalam pergaulan demi kepentingan pribadi, atau bahkan lebih busuk dari itu, menyelamatkan diri pribadi dari kesalahan yang jelas dilakukan. Tidak penting apakah itu bohong atau sebenarnya.
Kondisi budaya yang hampir kita semua pernah mengalaminya. Memasang beragam stiker “institusi yang berwajib” di kendaraan, pelat mobil, atau bahkan membawa tanda pengenal wartawan, sebuah profesi yang paling ditakuti di dunia melebihi perancang bom nuklir. Ya, semua kalangan, semua profesi butuh keamanan. Entah keamanan dalam arti sebenarnya atau hanya untuk gagah-gagahan dan mengelak dari kesalahan. Bahkan yang menarik menurut Lukman Sutrisno di dalam akun media sosial, Habib pun berteriak-teriak hingga serak demi eksistensi keturunan keluarga Nabi agar jamaah berduyun-duyun memenuhi tabligh akbar atau sekedar berkolaborasi dalam ranah politik praktis.
Tapi bisa kita lihat, budaya-budaya di atas sepertinya telah mulai luntur. Sonya seperti memperlihatkan kepada kita bagaimana kecaman masyarakat terhadap budaya yang "norak" seperti itu. Dus, juga tertangkapnya Bupati Ogan Ilir yang anak dari Bupati sebelumnya dalam kasus narkoba, berturut-turut menyadarkan kita mulai lemahnya budaya itu.
Bisa kita lihat contoh lainnya adalah Ibas, putra Mantan Presiden SBY ini telah beberapa kali menjadi bahan bully-an oleh netizen, dan salah satunya ketika rumor pencalonan sebagai gubernur DKI oleh Partai Demokrat. Apakah Ibas salah? Tidak, yang salah adalah karena dia anak ketua partai dan anak mantan presiden.
Sudah tidak ada gunanya membawa nama keturunan untuk memperbaiki atau mengangkat nama sendiri. Seperti dalam "Surat Terbuka Untuk Gibran Rakabuming" bahwa saat ini adalah zaman kita berkarya, nama baik kita adalah kita sendiri yang menentukan entah siapa "Bapak Lu".
Dan perlu kita ingat sekali lagi bahwa nama baik kita, nama baik keluarga kita, kita pertaruhkan hanya dengan seujung jari jempol.
*Artikel dimuat juga di blog pribadi disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H