[caption caption="Courtesy: socialmediaweek.org"][/caption]Mungkin tak pernah tebersit di benak Sonya Ekarina Depari bahwa kelakuannya ketika menghardik seorang polwan dengan membawa-bawa nama Arman Depari seorang Deputi BNN bisa menimbulkan dampak yang sangat luas, efeknya jauh dari sekadar cacian di media sosial. Atau, tindakan yang secara tindak langsung telah membuat ayahandanya meninggal dunia.
Masih lebih dari itu, tindakan Sonya telah membuka mata kita tentang kejamnya sebuah sosial media. Apakah kita sudah betul-betul menyadari, jika jaman dahulu tindakan kita mungkin hanya diketahui oleh saudara, kawan dekat, orang tua, dan tentunya Tuhan. Saat ini segala sesuatu tindakan kita amat sangat rawan dan potensial untuk diketahui publik, meskipun kita bukan artis atau publik figur.
Era ini, era manusia ditelanjangi, entah dalam ilmu sosiologi/filsafat modern apa namanya, tapi yang jelas bahwa kita (manusia) ada karena pandangan manusia lain, dan mempertegas kenyataan bahwa sifat manusia adalah senang jika melihat manusia lain tampil negatif. Karena menurutnya, melihat/mencela kenegatifan orang lain membuat dirinya merasa lebih positif.
Pembuktian konkrit jelas pada tindakan Sonya, tindakan Sonya yang negatif seakan menjadi bahan bagi ribuan atau bahkan ratusan ribu pengguna sosial media yang "mungkin" mendapatkan pelampiasan sosialnya. Pelampiasan untuk merasa lebih positif. Dan itu natural, muncul secara alamiah.
Yang menjadi masalah adalah Sonya hadir di saat era ketelanjangan mulai muncul. Ketelanjangan media, ketelanjangan informasi, ketelanjangan manusia dari sisi sosiologi apa pun. Tindakan Sonya mungkin tidak akan jadi masalah jika dilakukan pada tahun 1970-an, ketika media masih belum luas. Sayangnya, Sonya (mungkin) tidak sadar bahwa dia hidup di era 40 tahun kemudian.
Apakah para netizen dan media yang mem-bully itu salah?
Netizen dan media adalah satu komposisi, seperti martabak manis dan mentega, seperti penulis dan kerupuk, tidak bisa dipisahkan. Sehingga apa yang ditangkap netizen, itulah media, apa yang ditangkap media, itulah milik netizen. Tanpa batas. Betul-betul tanpa batas. Mungkin sebagian orang tidak setuju dengan statement ini tapi inilah kenyataannya.
Jika lalu kemudian muncul himbauan untuk berhenti mem-bully Sonya, dengan alasan umur, kematangan, dan lainnya, perlu digarisbawahi bahwa netizen memiliki kecepatan yang siapa pun tidak bisa mengukur. Super fast, mereka hadir karena kecepatan yang bisa diberikan media sosial itu sendiri, dan netizen selalu beradaptasi.Â
Percayalah, ketika himbauan itu muncul, hal itu sudah terlambat, karena seperti yang sering disinggung oleh penulis bahwa otak manusia jauh lebih lambat dari ujung jempol. Terbukti, ayahanda Sonya meninggal sebelum himbauan itu muncul. Tekanan yang datang secara tiba-tiba telah membuat jantungnya berhenti. Dan mungkin, bukan hanya Sonya, tetapi bisa juga terjadi pada kita semua.
Saat ini, tindakan kita bukan hanya diperhatikan oleh dua malaikat di kiri dan kanan, tapi juga jutaan kamera ponsel siap rekam. Bukan hanya di kiri-kanan, tapi juga depan-belakang, atas bawah bahkan bisa di-zoom dari kejauhan.
Kita tidak bisa menyalahkan media sosial apa pun bentuknya, toh media sosial muncul karena adanya kita juga, kita yang ada di dalamnya, kita yang bersama-sama menghidupi dan merawat. Kita harus bisa menerima kalau media sosial memang penghukum paling kejam, tapi juga pemberi paling dermawan.