Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Energi Biomassa, Bangganya Jadi Indonesia!

31 Maret 2016   13:20 Diperbarui: 6 April 2016   11:35 2151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: www.energydigital.com. Pembangkit Listrik Biomassa dengan konsep green-energy"][/caption]Sekitar minggu lalu di sebuah seminar teknologi dan project di Doha, saya bertemu dengan Mr Nisar Ahmed, seorang CEO Solar Sigma, pakar dan juga teknokrat yang banyak berkonsentrasi pada energi terbarukan terutama energi surya. Beliau menjadi key speaker saat itu dalam topik efisiensi energi.

Pada saat coffe break sore, sebelum beliau naik mimbar untuk menjadi speaker, saya coba mendekati dan mengajak ngobrol tentang green-energy. Terkejut beliau ketika tahu bahwa saya dari Indonesia dan lebih terkejut lagi bahwa saya datang ke acara itu tanpa sponsor.

Melihat dia terkejut, saya lebih terkejut lagi. Katanya, bukan hanya sponsor, tapi Indonesia sudah seharusnya hadir sebagai speaker di seminar ini, mengutus perwakilan. Wah, hebat betul tembakannya, membuat pipi saya merah, tambah bangga sebagai orang Indonesia.

Bangga sekaligus bertanya-tanya, kok bisa?

Bisa, karena menurutnya banyak sekali yang bisa didapat dari Indonesia dengan ketersediaan energi alternatif yang melimpah, contohnya Biomassa, dan beliau menyebut satu nama kayu unggulan dari Indonesia yang bisa dirubah menjadi energi, yaitu kayu Kaliandra.

Menurutnya, saat ini Eropa sedang berlomba menjajaki penggunaan pelet kayu Kaliandra sebagai bahan bakar pembangkit listrik kapasitas besar, bahkan di Slovakia sudah ada penelitian khusus mengenai efisiensi pelet kayu Kaliandra sebagai pengganti batubara. Dan Indonesia akan menjadi tulang punggung pensuplai pelet kayu Kaliandra kedepannya, itu katanya lho.

Beliau yang tadinya cuek, malah jadi semangat bicaranya, tapi sayang diskusi kami terpotong karena sudah jadwalnya beliau naik mimbar. Saya ikuti seminarnya sambil terus membayangkan betapa hebatnya Negara kita.

Bicara soal Kaliandra, tentunya kita jadi ingat kembali bagaimana dulu mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan pernah menggebu-gebu soal konsep Biomassa, pelet kayu, pohon Kaliandra bahkan DI pernah meresmikan PLT Biomassa tongkang jagung di Gorontalo.

Tidak tanggung-tanggung hasilnya, dengan konsep biomassa ini, biaya listrik PLN per Kwh bisa dihemat dari Rp 2.900/Kwh menjadi Rp 1.058/Kwh, atau lebih dari 50%nya, sebuah angka yang fantastis, ya fantastis. Bayangkan jika ini diterapkan di kota besar seperti Medan, Surabaya atau bahkan Jakarta, bukan tidak mungkin kan?

Coba lihat bagaimana di daerah-daerah bahkan di Jakarta sendiri kita masih sering terkaget-kaget melihat tagihan listrik, belum lagi jika listrik byar-pet. Yang disalahkan ya tentu saja PLN. Seakan solusinya ada di jerami, susah sekali mencarinya.

Jengah di salahkan, Presiden pun lagsung ngebet ingin menjawab, dijawablah dengan target listrik 35.000 MW. Semua terhenyak, betulkah? Atau cuma mimpi? Betul itu, kita mutlak perlu program itu terlepas nanti ada kendala. Yang penting sejalan: Tidak ada lagi deerah yang gelap di Indonesia. Sebuah konsep yang luar biasa kan?

Dan terus terang, ketika di depan bule yang menyebut mereka takut ke Indonesia karena teroris, saya menyebut “Our president has a concept for 35.000 MW to freed us from the darkness in hundred of Island”, mata mereka hampir copot. “How many years?”Five years!!”. Mata mereka copot beneran.

Apa mau dikata, Indonesia - di dalam persentasi - masuk peringkat 19 dari 20 negara dimana ada warganya yang masih belum memiliki akses listrik. Tetapi peringkat 12 dari 20 negara dengan kebutuhan energi primer hampir 2500 TWh. Mosok saya enggak ngebelain. Ini lho konsep kita, mereka harus tahu. Di bilang mimpi? Ya biarkan.

Kembali ke energi alternatif, jujur saya tertohok lho dengan pak Nizar Ahmed. Jangan-jangan kita hanya mentok di tongkang jagung saja?

Untuk mendukung program 35.000 MW, apa tidak ada celah dari sekian banyak pembangkit listrik yang dibangun untuk kita menggunakan energi alternatif?

Itu bisa dijawab ya dan tidak.

Kita sebaiknya mulai dengan kata tidak. Coba kita lihat pelet kayu, kelebihan pelet kayu pertama tentu saja bersih lingkungan sebagai hasil dari pembakaran. Pengurangan polusi tentu saja bisa ditekan drastis.

Kedua kalori, kalau selama ini kita menggunakan batubara sebagai bahan bakar, maka pelet kayu memiliki kalori mencapai 4800 kilo kalori (kkal), bahkan lebih baik dari batubara jenis Envirocoal yang berkelas 4000 kkal milik perusahaan tambang terbesar di Indonesia.

Belum lagi jika bicaranya limbahnya, batubara jelas masuk kelas B3, sedangkan palet kayu limbahnya bisa kita gunakan lagi sebagai pupuk. Kemudian bersifat renewable atau bisa diperbarui, dan terakhir pengembangan terhadap hutan rakyat atau istilah kekiniannya “multiplier effect”.

[caption caption="Pohon Kaliandra Merah (Calliandra colothyrsus) Sumber: balitbang.jatimprov.go.id"]

[/caption]

Melihat dari situ, tak ada alasan untuk kita tidak memanfaatkan, tapi..

Pucuk dicinta, Ulam tak tiba. Dengan harga minyak dunia yang nyungsep di level 30 – 40 USD per barel seperti ini, biaya untuk energi alternatif ini rasanya jadi mahal sekali, bukan mahal harganya naik, tapi mahal karena di atas harga minyak dan batubara yang anjlok.

Bukan hanya palet kayu, biomassa yang lain pun berteriak dan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Jepang mulai kehabisan nafas, China nyaris koit, Eropa pun demikian, mungkin hanya Selandia Baru yang getol dalam PLT Angin yang masih tegak berdiri.

Di harga ini batubara dan minyak kembali jadi primadona, ditambah penyataan Menkeu bahwa bisnis sekarang yang menguntungkan ya bisnis pembangkit, tentunya kembali memakai batubara sebagai sumber energi, bisa wasalam.

Apalagi penggunaan pelet kayu sebagai energi alternatif di Indonesia ini masih sebatas pembangkit listrik kapasitas 0.1-10 MW, anggaplah energi alternatif ini mengambil peran 2000 MW saja, artinya dengan kapasitas maksimal, katakanlah dengan empat Turbine di satu lokasi (4 x capacity MW), maka dibutuhkan 50 pembangkit skala 10 MW.

Dengan jumlah pembangkit sebanyak itu dibandingkan dengan outputnya, biaya investasi menjadi tidak karuan. Investasi bukan hanya sisi konstruksi saja, tapi juga sisi perolehan lahan, investor pun berpikir ulang. Bandingkan dengan batubara yang bisa mencapai kapasitas 1000 MW dengan satu pembangkit.

Jikalaupun yang sanggup hingga diatas 50 MW baru sebatas pemanfaatan energi air dan angin. Tapi dengan begitu apa lantas tidak bisa? Ya bisa.

Mari kita liat lagi model Amerika ketika menemukan shale oil pertama kali, apakah biayanya ekonomis? Tidak, sungguh tidak. Sangat jauh dari kata ekonomis, bahkan dahulu disebut bahwa shale oil bisa membunuh Amerika saking mahalnya biaya produksi. Tapi apa yang mereka lakukan?

Mereka cuek bebek, mereka melakukan studi dan perbaikan terus menerus (continues improvement) untuk membuat shale oil menjadi ekonomis. Dan lihat hasilnya sekarang, mereka mampu untuk menyaingi minyak konvensional milik OPEC yang bertahan sejak minyak ditemukan pertama kali.

Memang biaya produksi belum mencapai titik ekonomis karena harga minyak dunia diturunkan, tapi keyakinan saya terhadap shale oil rasanya cukup beralasan bahwa suatu saat akan menggeser minyak konvensional.

Hal yang sama bisa terjadi terhadap pelet kayu, dengan studi terus menerus, bukan mustahil pelet kayu dari pohon Kaliandra atau Sengon yang biasa kita lihat, mampu menghasilkan listik 1000 MW. Dan tentunya dengan teknologi yang lebih canggih, biaya produksi bisa ditekan, meskipun harus menunggu 10 tahun lagi.

Negara tidak perlu sewa pak Nizar sebagai konsultan, kita punya kok anak negeri yang canggih-canggih, 10 tahun itu singkat. 

Demi Indonesia yang lebih baik.

Salam

Tulisan ini dimuat di blog pribadi, di https://thekusumo.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun