Bukan hanya palet kayu, biomassa yang lain pun berteriak dan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Jepang mulai kehabisan nafas, China nyaris koit, Eropa pun demikian, mungkin hanya Selandia Baru yang getol dalam PLT Angin yang masih tegak berdiri.
Di harga ini batubara dan minyak kembali jadi primadona, ditambah penyataan Menkeu bahwa bisnis sekarang yang menguntungkan ya bisnis pembangkit, tentunya kembali memakai batubara sebagai sumber energi, bisa wasalam.
Apalagi penggunaan pelet kayu sebagai energi alternatif di Indonesia ini masih sebatas pembangkit listrik kapasitas 0.1-10 MW, anggaplah energi alternatif ini mengambil peran 2000 MW saja, artinya dengan kapasitas maksimal, katakanlah dengan empat Turbine di satu lokasi (4 x capacity MW), maka dibutuhkan 50 pembangkit skala 10 MW.
Dengan jumlah pembangkit sebanyak itu dibandingkan dengan outputnya, biaya investasi menjadi tidak karuan. Investasi bukan hanya sisi konstruksi saja, tapi juga sisi perolehan lahan, investor pun berpikir ulang. Bandingkan dengan batubara yang bisa mencapai kapasitas 1000 MW dengan satu pembangkit.
Jikalaupun yang sanggup hingga diatas 50 MW baru sebatas pemanfaatan energi air dan angin. Tapi dengan begitu apa lantas tidak bisa? Ya bisa.
Mari kita liat lagi model Amerika ketika menemukan shale oil pertama kali, apakah biayanya ekonomis? Tidak, sungguh tidak. Sangat jauh dari kata ekonomis, bahkan dahulu disebut bahwa shale oil bisa membunuh Amerika saking mahalnya biaya produksi. Tapi apa yang mereka lakukan?
Mereka cuek bebek, mereka melakukan studi dan perbaikan terus menerus (continues improvement) untuk membuat shale oil menjadi ekonomis. Dan lihat hasilnya sekarang, mereka mampu untuk menyaingi minyak konvensional milik OPEC yang bertahan sejak minyak ditemukan pertama kali.
Memang biaya produksi belum mencapai titik ekonomis karena harga minyak dunia diturunkan, tapi keyakinan saya terhadap shale oil rasanya cukup beralasan bahwa suatu saat akan menggeser minyak konvensional.
Hal yang sama bisa terjadi terhadap pelet kayu, dengan studi terus menerus, bukan mustahil pelet kayu dari pohon Kaliandra atau Sengon yang biasa kita lihat, mampu menghasilkan listik 1000 MW. Dan tentunya dengan teknologi yang lebih canggih, biaya produksi bisa ditekan, meskipun harus menunggu 10 tahun lagi.
Negara tidak perlu sewa pak Nizar sebagai konsultan, kita punya kok anak negeri yang canggih-canggih, 10 tahun itu singkat.Â
Demi Indonesia yang lebih baik.