[caption caption="Courtesy: https://dreamindonesia.files.wordpress.com"][/caption]Membaca artikel seorang mantan Menteri kemarin pagi sungguh menarik, bahkan sangat menarik sebab Pak mantan Menteri yang biasanya menuliskan artikel yang berbau optimisme, menggebu-gebu dan berisikan 'hope', kemarin pagi terasa berbeda, lebih 'rasional' kalau tidak mau menyebut pesimis.
Ini berkaitan dengan lika-liku Freeport yang disebut serba sulit dan serba berat, akibat penawaran divestasi saham sebesar 20 persen atau sekitar 1.7 milyar USD setara dengan kurang lebih 20 Trilyun rupiah. Apakah harga sebesar itu pantas untuk membeli Freeport yang saat ini masih dalam kondisi merugi. Merugi karena harga komoditas dunia sedang turun plus kesalahan investasi Freeport di Plains Company.
Ketika berbicara Freeport, pikiran kita secara langsung teringat pada Papua. Pulau di timur Indonesia yang disebut oleh Presiden sebagai 'Surga Indonesia'. Surga yang indah dan kaya.
Namun kenyataannya, berbagai tulisan yang bisa kita temui tentang Papua menulis tentang keprihatinan, foto anak yang kurus kering kurang gizi dan orang berkoteka yang jauh dari kesan 'berpendidikan' seperti trademark bagi Papua.
Cadangan kekayaan alam Papua yang terbukti adalah 2.27 miliar ton bijih, dengan perincian tembaga 2.2 juta ton, emas 1860 ton, perak 9600 biji perak (Wahyu Sunyoto). Dengan angka sebesar itu, di prediksi akan cukup hingga 2041. Jadi, bicara Freeport adalah bicara Papua dan amatlah sempit jika kita hanya bicara berangkat dari pertanyaan: Apakah membeli saham Freeport akan menguntungkan?
Secara jumlah saham, jika angka 10.64 persen tersebut jadi diambil alih oleh pemerintah atau BUMN, maka kepemilikan Indonesia di Freeport baru sebesar 20 persen. Untuk kapasitas sebagai pemegang saham, angka 20 persen bukanlah angka yang wah, apalagi jika ini dihubungkan dengan kondisi Freeport yang lagi sakit seperti pemberitaan media New York. Lebih dari itu.
Itu jika hanya berpikir tentang saham, yang notabenenya berarti kepemilikan. Kepemilikan kepada siapa? tentunya kepada PT Freeport. Bukan kepemilikan terhadap isi perut bumi Papua.
Amatlah naif jika kita saat ini berpikir soal untung rugi pemerintah dalam membeli saham Freeport. Market Cap Freeport masih bisa disaingi oleh BNI atau bahkan Telkom yang selalu mencetak laba puluhan trilyun, ini tidaklah terlalu istimewa. Jadi kalau bicara soal untung, Indonesia masih bisa mendapat untung yang lebih besar dari sektor lain.
Tapi ada yang lain disana.
Indonesia adalah pemilik. Indonesia adalah pemilik bumi Papua dan apa yang terkandung di dalamnya harus berdasarkan UU 1945 pasal 33 (2) & (3). Itu adalah mutlak. Bumi Papua adalah investasi abadi. Ini adalah investasi bagi anak-cucu-cicit kita nanti.
Memang, disisi lain kita pun harus rasional menghitung kemampuan kita dalam menggarap lahan emas terbesar didunia tersebut. Antam, yang digadang-gadang memiliki kemampuan menggantikan masih harus bersusah payah untuk meraih untung yang stabil saat ini, namun bukan tidak mungkin untuk bisa menggarap Grasberg dan sekitarnya. Indonesia punya banyak engineer anak negeri yang berkiprah di bumi Papua dan kita harus yakin bahwa mereka mampu mengaplikasi teknologi tersebut.