Aksi 212 baru saja selesai. Semua sesuai dengan tujuan "orisinil" semula, yaitu aksi damai dan ibadah sholat Jumat bersama. Tidak ada hal paling menarik di saat itu kecuali tiga hal: Kekuatan Islam mayoritas yang ternyata sangat dahsyat, strategi ambil alih panggung ala Presiden dan tentunya payung Presiden yang menjadi trending topic.
Kekuatan keimanan yang dahsyat ternyata mampu mengumpulkan massa jutaan yang dirangkum dari berbagai daerah. Jika 411 saya masih yakin akan penunggangnya, maka di 212 ini dalam kondisi "steril". Jika toh masih ada "tentara bayaran" maka saya yakin hanya segelintir. Intelijen sudah bergerak untuk sterilisasi.
Sterilisasi dimulai sejak Kapolri Tito Karnavian yang dengan cantiknya memainkan perannya. Dengan pendekatan yang manusiawi dan tegas, beliau menginstruksikan pemusatan massa terjadi di Monas, apakah memang betul beliau yakin bahwa hanya 200 ribu orang peserta sesuai ucapannya? Tentu tidak, yang diyakini adalah sebaliknya. 4 jutaan orang yang hadir itu sudah diprediksi.Â
Kok bisa? Yang simpel saja. Sudah beredar broadcast massage di WA grup tiga hari yang lalu soal penggalangan dana konsumsi untuk aksi 212 yang langsung direspons positif, bahkan salah satu panitia mengatakan ada dana dua juta rupiah dari Batam yang membuat semangat. Apa mereka pikir media sosial mereka tidak bisa dilacak? Plis deh. Itu kelas bulu. Terus yang informasi kelas berat? Ya pikirkan saja sendiri.
Jadi, Kapolri memang sudah memprediksi, alur aksi ini sangat teratur, rapi, dan terorganisasi. Aksi dipusatkan di Monas yang apabila membeludak, pastilah meluber ke Bundaran BI, terlihat dari drone dan foto bird eye. Formasi ini memudahkan kepolisian yang terkonsentrasi di ring 1, yang apabila terjadi chaos, massa yang tentu berjalan lambat akibat berdesakan akan digiring menuju arah Sarinah/Tanah Abang, tidak mungkin chaos di Monas karena dibatasi pagar tinggi-tinggi, itu namanya bunuh diri massal. Sarinah, di mana areanya lebih terbuka, membuat massa dan Brimob plus TNI akan head to head. Jika seperti itu, kendali ada di kepolisian dan TNI yang menguasai medan laga per inch. Atau Tanah Abang, di mana medan justru lebih sulit bagi massa untuk bergerak leluasa, bisa menjadi bumerang. Tapi untungnya tidak terjadi.
Kenapa tidak terjadi konflik sama sekali? Karena sejak malam di tanggal 4/11 lalu, Presiden sudah memainkan perannya. Strategi Sun Tzu nomor 26: Lihat pada pohon murbei dan ganggu ulatnya, yang artinya gunakan analogi atau sindiran untuk mengontrol atau mengingatkan suatu pihak. Dengan sindiran, pihak yang berlawanan tidak punya alasan langsung untuk memukul balik.Â
Kondisi ini menguntungkan. Pertama, lawan biasanya akan belingsatan sendiri, dia akan menunjukkan jati diri tanpa harus capek-capek dikorek, apalagi kalau dia suka terbawa perasaan. Kedua, ini memberi kesempatan Presiden untuk melakukan koalisi ke pihak lain selain lawan yang belingsatan tadi. Pihak lain yang sejatinya lawan juga, akan menjadi tidak enak hati karena didatangi dengan baik, toh Presiden hanya menyebut sindiran "ditunggangi", siapa yang penunggangnya? Who knows. Ini membuat Presiden bebas mau ke mana saja. Â
Tapi justru di sinilah tujuan sebenarnya.
Presiden diprediksi sudah mengantongi nama-nama "si penunggang gelap". Dan sebagian besar adalah kroni dari si lawan kedua ini. Lawan pertama mungkin hanya berkepentingan memajukan keturunannya untuk berkuasa, tapi yang kedua ini beda, pengaruhnya luar biasa. Ada diplomasi tingkat tinggi Presiden. Di sini Presiden memakai strategi jawa "Jangan dipangku, tetapi memangku". Artinya, Presiden tidak mau tergantung, Presiden ambil inisiatif dengan mendatangi lawan kedua lebih dahulu. Istilahnya, Presiden menyediakan pahanya untuk memangku.Â
Sang lawan kedua pun akhirnya memberikan statement "saya tidak akan jegal Presiden". Sebagai pria sejati, statement ini tentu saja sangat penting. Kenapa sampai ada statement itu? Atau, kenapa "harus" ada statement itu? Jawabannya Anda bisa menebak sendiri.
Itu membuat Presiden bisa melakukan dua langkah, kemungkinan pertama meminta izin kepada sang lawan kedua (bisa ketika makan siang) untuk menangkap aktor-aktor yang dianggap beragenda. Tentu demi kembalinya wibawa Presiden dan NKRI sebagai kedaulatan yang tidak bisa dikacaukan. Kedua, meminta rekan-rekan lawan kedua ini untuk menyingkir dari aksi 212. Dua langkah ini dimainkan dengan cantik oleh Mr President. 10 aktor hari ini ditangkap, 5 diantaranya kelas berat, bahkan mantan Jenderal. Dan 2 rekan karib pergi ke luar negeri.