Mohon tunggu...
R. Angwarmase
R. Angwarmase Mohon Tunggu... Guru - Berpikir Logis, Bertindak Bijak

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Nilai Kepemimpinan Budaya

7 Mei 2024   20:02 Diperbarui: 7 Mei 2024   20:23 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

NILAI KEPEMIMPINAN BUDAYA

Oleh : R. Angwarmase

Kepemimpinan merupakan hal yang pokok dalam keberhasilan suatu organiasi. Orang cenderung mencari pegangan dalam tumpuan penanggungjawab untuk kegiatan kelompok yang dilaksanakan, mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai, serta dibarengi dengan adanya kegiatan-kegiatan penilaian atas usaha pencapaian tujuannya. 

Keadaan-keadaan yang meresahkan tersebut menggugah para ahli  untuk merintis dan mengusahakan agar individu bersikap terbuka dapat menerima perubahan. Seorang pemimpin seyogyanya mawas diri dan mengkaji untuk menemukan kekurangan-kekurangan, seraya membekali diri dengan pengetahuan tentang seni kepemimpinan, sifat-sifat unggul seorang pemimpin yang berhasil, tanpa mengabaikan faktor sosial budaya setempat, seperti kepemimpinan dalam perspektif budaya  Duan Lolat. 

Menurut hukum dan tradisi suku Tanimbar, orang yang berkuasa dalam rumah tangga ialah Bapa (ayah) dan Putera sulung serta yang berkuasa dalam famili adalah kepala famili, apakah dapat membenarkan kuasanya, tergantung dari sifat-sifat dan kepribadiannya masing-masing pemimpin itu : apakah dapat menyenangkan orang-orangnya, anggota dan masyarakatnya, sehingga taat atau tidak. 

"Bila mereka dengan tegas dapat mengefektifkan kuasanya, maka hal ini kadang-kadang akan menyebabkan perpecahan antar rumah tangga yang satu dengan rumah tangga yang lain, entah untuk waktu singkat ataupun untuk waktu yang lebih lama, atau bahkan dapat menghasilkan pemecahan famili itu menjadi dua". Pemimpin yang berhasil, sering dipandang memiliki karisma yakni suatu daya tarik dan wibawa yang dapat dengan mudah mempengaruhi orang lain, maka diikuti apapun keinginannya.

Kepemimpinan tentu saja harus efektif dalam memberdayakan orang-orang yang dipimpin, harus dmenggunakan kekuasaan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bonum publicum). Tidak semua orang bisa berhasil bila diberdayakan. Kekuatan ini sering kali lebih disukai, karena kekuasaan tersebut, banyak orang yang melupakan diri sendiri, seolah-olah menjadi orang luar, dan para pemimpin harus menafsirkan kembali masa lalu sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mendasari kebijakannya. Pola pikir dan perilaku dalam tataran praktis, harus dikaitkan dengan makna dan hakikat kebudayaan, baik budaya nasional, maupun budaya daerah masing-masing, yang telah mengakar selama bertahun-tahun,

Beberapa pepatah Jawa seperti kata-kata Pandhita Ratu yang baik tampaknya masih berlaku sebagai pedoman budaya para pemimpin. Thomas Wiyasa Bratawijaya menulis dalam bukunya "Mengungkap dan Memahami Kebudayaan Jawa" (1997), perkataan Ratu Pandita menunjukkan makna ajaran dan perkataan raja yang tidak dapat diubah lagi. Metode semiotik ini mengajarkan bahwa pemimpin harus setara, yaitu mampu menyampaikan informasi. 

Perkataan dan tindakan harus berjalan beriringan, tidak perlu bermalas-malasan atau terombang-ambing oleh emosi. Para pemimpin yang dipengaruhi oleh emosi, mudah bagi mereka untuk melupakan apa yang mereka katakan. Sebaliknya, karakter yang baik adalah pemimpin dalam nilai dan moral, serta baik hati. 

Ciri-ciri tersebut, dalam tataran praktis, dapat dilihat pada pola perilaku pemimpin yang menunjukkan empati atau kepedulian dan bersedia menawarkan bantuan kepada bawahan yang kesusahan. Intinya adalah, bahwa menerapkan kepemimpinan yang sesuai dengan budaya di semua bidang sangatlah penting. Senada dengan ajaran Trisakti yang digagas Sukarno, presiden pertama RI, salah satunya mengatakan bahwa individualisme harus menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia di tengah dunia.

Memaknai kepemimpinan perspektif nilai budaya, kita dapat merefleksikan dan memvisualisasikan jati diri bangsa, menghadapi masa depan yang penuh harapan. Pilih pemimpin dari norma budaya yang melibatkan semua kepentingan, dengan cara pembuat kebijakan (decesion maker) seharusnya mengadopsi gaya kepemimpinan yang dikenal dengan Hasta Brata, terkandung sifat-sifat mulia sebagai seorang pemimpin, terlihat jelas ketika Sri Rama mengangkat Ayodyapala menjadi Raja Bharata dalam epos Ramayana karya Valmiki, yaitu  (1) aspek matahari (Mahambeg Mring Surya), (2) hakikat bulan (Mahambeg Mring Candra), (3) alam bintang (Mahambeg Mring Kartika), (4) keadaan angin (Mahambeg Mring Maruta), (5) wujud Api (Mahambeg Mring Agni), (6) sifat air (Mahambeg Mring Warih, (7) sifat laut (Mahambeg Mring Samudra), dan (8) sifat bumi (Mahambeg Mring Kisma). Memahami dan menerapkan ajaran Hasta Brata dapat menjadi cara bagi pemimpin untuk mengendalikan diri dan mengatur pekerjaan, merujuk pada sifat-sifat mulia yang dapat diperoleh sebagai berikut :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun