Siang itu, dalam naungan gedung sekolah dari teriknya sinar matahari yang terasa menyengat kulit, membuat beberapa anak kelas XI MIPA 4 sedang asyik dengan kegiatan masing-masing. Seharusnya jam kesembilan hingga sepuluh ini mereka sedang menyimak pelajaran kimia yang disampaikan dengan semangat oleh pak Tono, selaku wali kelas mereka. Tetapi, beliau ada kepentingan mendadak sehingga hanya memberikan beberapa tugas kepada murid-muridnya dan begitu selesai dikerjakan, sebagian besar murid di kelas itu sudah asyik dengan kegiatannya masing-masing. Hampir semuanya, kecuali Yui.
Duduk di meja paling kiri yang terletak dekat dengan pintu kelas, bersandar pada dinding kelas sembari tenggelam dalam bacaan novel persahabatannya yang dia bawa dari rumah untuk antisipasi jam kosong di kelas. Teman sebangkunya, Reza, sedang sakit sehingga dia menitipkan surat izin kepada Yui.
Yui suka membaca buku, tapi bukan berarti dia seorang kutu buku dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya, seperti gambaran orang kebanyakan. Nyatanya, nilai fisika dan biologi semester kemarin berada di ambang kehancuran. Padahal dia anak IPA, bukan IPS.
Setelah beberapa bab, dia memutuskan untuk menutup bukunya. Padahal kipas angin kelas yang menggantung di plafon selalu menyala, mengirimkan angin ke seluruh penjuru ruangan. Walaupun begitu, Yui tetap merasa gerah sehingga beberapa kali dia mengelap keringatnya menggunakan sapu tangan. Pertanyaannya, kenapa tidak membawa kipas angin portable? Simpel saja, kipas angin portablenya rusak akibat tidak sengaja tersenggol oleh lengan teman sebangkunya saat tengah membersihkan mejanya yang berantakan dengan beberapa buku dan alat tulis yang berserakan. Ketika teman sebangkunya hendak mengganti dengan yang baru, Yui menolak dengan halus dan berkata tidak usah diganti. Sebagai gantinya, Yui ditraktir makan di sebuah kedai es krim dekat sekolah.
Yui mengambil napas dalam-dalam dan melempar pandang di sekitarnya. Ada beberapa anak yang sedang mabar permainan daring sembari lesehan di atas lantai kelas yang mayoritas laki-laki, berbincang asyik hingga sesekali tertawa terpingkal-pingkal, tetap setia di bangku masing-masing dengan kepala yang bersandar di atas meja alias tidur dengan damai, hingga kumpulan anak-anak ambis dengan tumpukan buku dan ponsel di sampingnya sebagai penunjang belajar.
Perhatian Yui terfokuskan kepada seseorang yang berada di kumpulan teman sekelasnya yang sedang asyik berbincang tadi. Dia bernama Dahlia, atau kerap disapa dengan Lia. Sejak TK hingga SMA, Yui dan Dahlia selalu berada di sekolah yang sama, meskipun beberapa kali mereka berada di kelas yang berbeda. Jika mereka berdua saling berpapasan, tidak segan-segan mereka saling bertukar sapa atau sekadar mengobrol tentang kegiatan di kelas masing-masing. Alangkah terkejutnya ketika Yui mengetahui bahwa dirinya dan Dahlia bisa berada di satu kelas yang sama lagi di tengah-tengah mereka menikmati masa putih abu-abu.
Awalnya, Yui sudah antusias bahwa dirinya dan Lia akan menghabiskan waktu bersama di kelas yang sama. Namun, sepertinya dia yang terlalu berharap hal seperti itu akan terjadi. Seiring berjalannya waktu, dia lebih sering melihat Lia berkumpul bersama teman-teman sekelasnya dulu dengan antusias dan raut wajah yang berseri-seri. Sedangkan saat bersama dirinya, Lia lebih sering membahas seputar kegiatan eksul yang mereka berdua sama-sama geluti. Entah kenapa, seperti ada tembok yang tak kasat mata di antara mereka berdua. Rasa kesepian mulai menggelayuti hatinya, padahal dia berada di tengah keramaian kelas.
Ingin sekali rasanya, saat itu juga Yui berdiri dan berkata sekeras mungkin kepada Lia kalau dirinya rindu masa-masa mereka berdua yang sering mengobrol berdua bersama dan berjalan beriringan tanpa rasa canggung yang menghinggapi. Rasanya Yui ingin kembali di masa-masa itu. Terkadang, diam-diam dalam hatinya ada rasa iri kepada teman-teman sekelas Lia sebelumnya yang bisa mengobrol banyak hal dengan akrab dengannya.
Tetapi, di satu sisi Yui juga takut. Dia tipe orang yang sebisa mungkin menghindari keributan dengan orang lain. Yui lebih memilih disalahkan oleh orang lain agar masalah bisa segera selesai. Dia jadi teringat sesuatu. Biasanya di alur film-film persahabatan, ketika dua atau lebih sahabat saling berkonfrontasi satu sama lain, akan terjadi adegan pertengkaran hebat, saling beradu argumen, ketika hampir saling memahami, tiba-tiba muncul tokoh ketiga yang ingin merusak kembali hubungan persahabatan mereka, kemudian dua sahabat itu bertengkar lagi. Ketika mereka sudah lelah dengan segala drama yang terjadi, akhirnya mereka saling terbuka satu sama lain dan berakhir bahagia dengan hubungan persahabatan yang lebih erat serta kuat lagi.
Mengingat film tersebut, maka dari itu, sebisa mungkin Yui mengindari keributan dengan Lia agar hubungan mereka tetap berjalan seperti biasanya. Tetapi, dia juga mengingat kalau Yui dan Lia hanya sekadar teman akrab, bukan sebagai sahabat. Yui baru menyadarinya saat dia memasuki kelas sebelas ini. Itu seperti hantaman keras untuknya. Suatu ketika, dia membeli sebuah buku yang berjudul 'Lonelines is my best friend,' yang dia beli di sebuah aplikasi belanja daring. Dari sekian banyak paragraf, ada salah satu kutipan paragraf yang masih membekas di ingatannya: