Di bawah temaram langit malam kota Moscow yang indah, nampak dua orang laki-laki tengah membicarakan sesuatu. Tangan mereka bersandar kepada pagar balkon apartemen yang ikut mendingin selaras dengan suhu udara musim dingin yang mulai menembus pori-pori kulit. Keheningan merayapi mereka berdua selama beberapa saat. Selama itu, mereka hanya memandangi hamparan salju putih di bawah temaram lampu jalanan yang menambah keindahan suasana musim dingin di penghujung bulan desember. Walaupun Moscow memang selalu berada pada suhu rendah seperti biasanya.
Hanan seharusnya sedang berada di depan layar televisi sembari menikmati layanan streaming film kesukaannya dan menikmati minuman coklat panasnya selama mengisi waktu liburan. Dia pikir sudah waktunya untuk rehat sejenak dari aktivitas kuliahnya yang terkadang begitu melelahkan dan bersantai di apartemennya itu. Tidak mudah baginya mendapatkan beasiswa di salah satu universitas bergengsi yang ada di Rusia. Meskipun begitu, dia terus mencoba hingga akhirnya berhasil menjadi mahasiswa di salah universitas impiannya. Salah satu alasan dia memilih untuk berkuliah di sana karena ingin bertemu dengan ayah angkatnya yang merupakan orang Rusia tulen.
Ketika dia sedang bernostalgia dengan perjuangannya seraya ditemani secangkir teh hangat di balkonnya, tiba-tiba ponselnya berdering yang tergeletak di samping meja kecilnya. Ternyata dosennya ingin bertemu dengannya, terkait pembicaraan penelitian di mata kuliah yang dipelajari. Dengan berat hati, Hanan memersilakan untuk datang ke rumahnya dan dosennya pun tiba tak lama setelahnya. Karena sebelumnya si dosen sudah pernah datang ke apartemen Hanan pada tempo hari, dia bisa langsung menuju alamatnya tanpa perlu drama tersesat di tengah jalan. Tanpa basa-basi, mereka melangsungkan pembicaraan serius terkait isu pendidihan global yang sedang berlangsung saat ini dan memberikan opini yang tepat untuk permasalahan tersebut. Di saat itu pula jemari-jemari tangan Hanan menari dengan lincah di atas tombol keyboard yang terbentang. Dia mengetikkan sejumlah poin penting dengan tambahan referensi dari internet. Pembicaraan pun mengakar hingga ke topik lain.
"Waw, cukup banyak juga topiknya! Sampai-sampai sudah hampir seratus halaman yang diketik." Hanan berdecak kagum dengan dirinya sendiri sembari memandangi layar laptopnya karena bisa melawan rasa malasnya yang mulai menyerang.
Dosennya beranjak berdiri. "Urusanku sudah selesai di sini. Sisanya aku serahkan padamu, Hanan."
Ketika dosennya hendak pergi, tiba-tiba Hanan bergumam dalam bahasa Indonesia. "Bapak dari dulu nggak berubah, ya."
Dmitri, ayah angkat sekaligus dosen Hanan itu pun tertegun. Tangannya tidak jadi meraih gagang pintu yang sudah ada di hadapannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Hanan yang sedang tersenyum dengan senyuman yang tidak dapat diartikan. Dengan ekspresi datar, Dmitri pun bertanya, "Apa maksudmu, Hanan?"
Hanan menggeleng. "Nggak, cuma memberikan pendapat 'aja. Kenapa memangnya?"
Wajahnya tersenyum, namun di saat yang bersamaan, dia sedang menahan kekesalan yang bisa meledak kapan saja. Tangannya meremas ujung baju hangatnya seraya mencoba meredakan emosinya tersebut.
"Aku penasaran, kenapa kamu mau ambil kuliah di Rusia. Padahal masih banyak universitas bergengsi lain di luar sana. Apa alasannya, huh?" Dmitri menajamkan penglihatannya kepada anak angkatnya itu. Baik dia dan dirinya, seperti ada jurang pemisah di antara mereka berdua. Oleh karena itu, hubungan mereka sebelumnya tidak terlalu dekat bahkan bisa dikategorikan jarang mengobrol bersama.