Di sebuah ruangan di mana jejeran rak yang dipenuhi aneka jenis buku, mulai dari karangan fiksi hingga non-fiksi tersusun rapi. Di mana semua orang yang gemar membaca buku berkumpul dan terhanyut dalam bacaanya. Ya, tempat itu adalah perpustakaan. Suasananya yang tenang dan menyejukkan memang tempat yang cocok untuk fokus membaca bahkan belajar.
Hai! Namaku Hafid Adiwijaya, panggil saja Hafid. Aku mulai gemar membaca buku ketika Ayah dan Ibu pertama membelikanku buku ensiklopedia dan buku komik sebagai oleh-oleh dari Yogyakarta. Selain itu, aku mulai terinspirasi dari adik angkatku yang kutu buku. Dia bernama Russell Shostakovic, berasal dari negara Rusia sebelum akhirnya pindah kewarganegaraan menjadi WNI. Karena alasan panjang yang tidak bisa aku jelaskan tentang dirinya, yang terpenting dia adalah adikku yang sangat aku sayangi dan sudah aku anggap bestie di rumah. Selain cakepnya kebangetan, dia juga cerdas dan ramah sehingga banyak orang yang suka dengannya. Tenang saja, dia sudah fasih berbicara menggunakan bahasa Indonesia setelah dilatih oleh keluargaku yang dengan sabar mengajarinya sampai bisa. Dan, umur kami hanya selisih dua tahun.
Saat ini, aku sedang menunggunya pulang dari sekolah sembari membaca buku sejarah tentang kerajaan Majapahit dengan tenang dan nyaman di dalam perpustakaan daerahku yang sejuk karena AC yang menyala. Kami janjian bertemu di sini sehabis mengikuti ujian kenaikan kelas di sekolah masing-masing, yang artinya kami pulang cepat karena ada ujian. Ketika sedang hanyut dalam bacaan, tiba-tiba pandangan sekitarku menjadi gelap gulita, seakan-akan sedang mati lampu. Tentu saja, aku langsung tahu siapa pelakunya. "Russell 'kan? Lagi gabut ya? Sampai mataku ditutupin sama kamu," ujarku menahan tawa, dengan tangan yang masih memegang buku.
"Yah, Mas Hafid nggak seru. Bisa langsung tahu kalau aku yang jahilin," katanya pura-pura kecewa sambil melepaskan tangannya dari area mataku.
Aku menutup buku yang tadi kubaca dan kutolehkan sejenak ke arahnya. Memakai seragam batik berwarna biru dengan celana bahan berwarna hijau lumut, sebelum beranjak berdiri dari bangku perpustakaan, menuju meja resepsionis untuk meminjam buku tersebut selama tenggat waktu yang sudah ditentukan. Russell juga demikian, dia mengambil sebuah buku novel dengan judul dan nama penulis yang tertera di cover depan buku lalu menuju meja resepsionis karena ingin meminjamnya juga.
Begitu kami berjalan keluar dari gedung perpustakaan yang dipoles cat berwarna hijau telor asin itu, kami disambut udara siang yang terasa menyengat di kulit. Baru berjalan beberapa meter sejak kami meninggalkan gedung perpustakaan, peluh keringat sudah membasahi dahi. Tenggorokanku terasa kering ditambah cacing-cacing di perut yang sudah berpesta pora meminta makanan untuk disantap, lengkap sudah penderitaanku ini. Sejak sarapan, aku belum makan apa-apa lagi dan aku orangnya mudah lapar. "Andai saja aku bawa bekal tadi," gumamku pelan namun bisa ditangkap oleh telinga Russell.
Melihatku yang hampir sekarat, dia berinisiatif mentraktirku sepiring penuh soto ayam di salah satu warung dekat sekolahku dengan harga yang ramah di kantong. Kami duduk saling berhadapan di kursi yang tersedia dan memesan menu soto ayam dengan segelas lemon ice tea. Sembari menunggu, kami mengobrol sejenak serba-serbi ujian sekolah yang membuat otakku pusing tujuh keliling. Tidak butuh waktu lama, pesanan kami diantarkan langsung oleh pemilik warung dan setelah mengucapkan terima kasih, kami berdoa terlebih dahulu sebelum menyantap menu makan siang kami. Menghentikan sejenak obrolan kami, digantikan suara obrolan para pengunjung warung yang mayoritas bapak-bapak.
Usai menyantap makan siang, Russell membayar makan siang kami lalu keluar dari warung tersebut. Berjalan berdampingan di pinggiran jalan, kami sangat dekat hingga saling bergandengan tangan seperti anak kecil saja. Sesekali kami bersenandung ria saling menyambung lirik, yang membuat orang-orang di sekitar kami melihatnya merasa lucu dan gemas sendiri. Sinar matahari yang terik, gumpalan awan yang membumbung tinggi di kanvas biru ciptaan-Nya, serta rindangnya jejeran pohon liar yang tumbuh di sekitar pinggir jalan yang di mana berada di samping persis ada sungai kecil dengan aliran air yang tenang. Menemani perjalanan pulang menuju ke rumah.
Ketika hampir sampai di halte bus, kami melihat kerumunan massa. Karena merasa penasaran, kami segera menghampiri kerumunan tersebut dan mendapati seorang anak laki-laki yang sedang dimarahi oleh polisi. Menurut penuturan warga, dia ketahuan mencuri sejumlah uang dari seorang ibu-ibu ketika berada di pasar dengan nominal ratusan ribu rupiah. Terlihat seorang wanita yang diduga korban berusaha membujuk anak itu untuk mengakui perbuatannya. Namun, sang anak terus bungkam sampai dia dipukul oleh wanita tersebut karena kesabarannya sudah habis dan uang sejumlah ratusan ribu berjatuhan dari tangannya yang ringkih tersebut. Langsung saja, sang ibu memunguti uang miliknya dan pergi begitu saja dari lokasi tanpa berkata apa-apa. Membuatku merasa iba dan kasihan kepada anak laki-laki tersebut.
Aku mendongakkan kepala, menatap Russell yang lebih tinggi dariku dan dia menganggukkan kepala. Setelah kerumunan massa dibubar paksa, anak tersebut tidak ditindak lanjut oleh aparat tadi dan dia dibiarkan begitu saja. Kami pun menghampiri dan mengajak anak itu berbicara sebentar di jembatan gantung rel kereta api. Awalnya dia merasa waspada, namun akhirnya menuruti permintaan kami dan mulailah perbincangan dalam kami dengannya di tempat itu. Setelah kami berkenalan serta mendengar penjelasan darinya, Russell pun berkata, "Jadi, Adnan, kamu mencuri karena ingin membiayai sekolah adik-adikmu yang masih SD, begitu?" tanyanya setelah menarik kesimpulan.
Adnan, anak laki-laki tersebut menganggukkan kepala. "Kami tidak punya uang, keluarga kami miskin. Untuk makan saja sudah susah, apalagi sampai membiayai keperluan sekolah. Bantuan dari pemerintah masih belum cukup untuk rakyat jelata sepertiku," katanya sambil mulai menangis sesenggukan. "Andai saja ada sekolah yang benar-benar gratis, mungkin aku nggak bakal putus sekolah sekarang," lanjutnya sambil mengusap air matanya dengan kasar.
Aku berusaha menenangkan Adnan dengan memeluknya, sementara Russell nampak sedang berpikir keras. Wajah seriusnya kini berganti wajah yang sumringah dan penuh kemenangan, lalu dia mulai membisikkan sesuatu kepadaku. Beberapa saat mendengarnya, aku mulai tersenyum sambil mangut-mangut. "Wah, boleh juga idemu, Sell," kataku setuju.
Setelah Adnan sudah merasa tenang kembali, aku berinisiatif mengambil dompet dari tas selempangku dan membagi beberapa lembar uang berwarna merah kepadanya. Aku meyakinkannya untuk mengambil lembaran uang yang ada di tanganku sekarang. Memang, uang THR sih, tapi tidak apa-apa. Dia melongo melihat uang segitu banyak dariku. Dengan ragu-ragu, dia mengambilnya sembari mengucapkan terima kasih sebanyak dua kali.
                     ~~~~~
Hari menjelang malam. Matahari kini digantikan oleh sang rembulan. Di sela-sela makan malam, aku mengutarakan ide dari Russell dalam rangka meminta persetujuan dari orang tua kami. Tatapan ragu ditunjukkan oleh Bapak kepada kami berdua. "Yakin 'nih? Mau bangun sekolah gratis untuk semua kalangan di desa ini. Emangnya bakal ada yang mau?" tanyanya sambil melirik Ibu yang berada di sampingnya.
Kami saling berpandangan sebelum beranjak dari kursi, menju ruang tengah untuk mengambil seperangkat alat. Sekembalinya kami dari sana, seperangkat televisi dan laptop dinyalakan untuk selanjutnya Russell melakukan presentasi dalam rangka memersuasi Bapak dan Ibu agar menyetujui ide kami berdua. Kami mengambil data dan fakta yang ada di lapangan sehingga Bapak yang berpikir kritis tidak punya waktu untuk interupsi.
Melihat hal ini, Bapak menyetujui ide kami dan meminta kami untuk berdiskusi dengan orang-orang penting yang ada di desa.
Keesokan harinya, dengan bantuan Bapak, kami meminta orang-orang tersebut untuk datang ke balai desa pada pukul sepuluh pagi. Ada sepuluh orang yang hadir dan semuanya tetangga dekat kami. Kami juga melakukan hal demikian, yakni presentasi kepada orang-orang tersebut. "Demi kesejahteraan bersama! Wah, ide bagus, atuh! Kenapa nggak kepikiran dari dulu, ya? Di desa ini juga butuh SDM yang memumpuni kalau mau jadi desa yang modern. Butuh kerjasama dan komitmen antar warga desa," ujar Pak Riski selaku kepala desa yang setuju dengan gagasan dari kami.
"Saya bersedia menjadi pengajar pengganti di situ. Kurikulum dan pembelajarannya nanti saya pikirin," sahut Mba Kartini, salah satu orang berpengaruh di desa ini. Dia juga sudah lulus kuliah S3 di perguruan tinggi luar negeri.
"Haha, boleh juga! Untuk masalah dana, aku bisa urus itu nanti. Sebutkan nominal, maka dompetku siap dikuras," celetuk Om Kevin, sang jutawan dari desa ini.
Kami sangat senang dengan respon positif dari mereka. Mereka bertiga juga asyik berdiskusi dengan beberapa warga lainnya. Namun, ada juga beberapa dari mereka yang kurang setuju dengan ide kami. Salah satunya Pak Malik, juragan beras dan bawang yang terkenal pemarah dan suka mengadu-domba orang lain. Dia punya reputasi yang buruk. "Halah, sekolah gratis apanya! Paling juga memungut biaya dari si miskin dan masuk ke kantong si kaya," katanya yang mendapat sorotan perhatian dari semua orang yang hadir. "Nggak ada bedanya sama sekolah sekarang. Lagipula ya, sekolah itu mendidik untuk menjadi seorang pegawai, bukan menjadi seorang atasan atau pimpinan. Buktinya? Banyak sarjana dan lulusan di atasnya yang masih menganggur, luntang-lantung tidak kunjung mendapat kerjaan. Di anggap beban oleh keluarga sendiri," tambahnya dengan nada meremehkan.
Salah satu warga ada yang terprovokasi dan mencoba menghajar Pak Malik jika tidak ditengahi oleh Pak Riski dan Om Kevin. Dengan tegas, Russell berkata, "Saya ulangi, jika ada yang tidak setuju dengan gagasan kami, silahkan keluar. Pintu terbuka lebar untuk Anda," katanya dengan lantang. "Untuk masalah tadi, saya bisa pikirkan lagi. Tapi prioritas sekarang adalah bagaimana cara meningkatkan minat belajar warga desa agar tertarik untuk datang ke sekolah kami," lanjutnya.
Pak Malik mendengus dan keluar dari balai desa bersama seeorang bawahannya yang duduk di sampingnya. Keadaan kembali kondusif setelah perginya mereka dan pertemuan itu bisa dilanjutkan. Akhirnya, setelah berdiskusi selama enam jam lamanya, dengan beberapa inovasi dari warga desa, rencana kami semua akan dilaksanakan besok. Kami dibagi menjadi beberapa tim untuk membangun sekolah gratis ini. Ada yang bagian desain bangunan, metode pembelajaran serta kurikulumnya, bagian keuangan, promosi, dan lainnya. Mereka semua nampak kompak dan akrab.
Di satu sisi, Pak Malik dan rekannya berusaha menggagalkan rencana kami dengan menyebar desas-desus jika ada pembangunan pabrik ilegal di desa ini dan akan menggusur rumah para penduduk. Lebih parahnya, kebanyakan dari warga percaya begitu saja. Padahal kepala desa sudah memberi tahu kalau akan dibangun sebuah sekolah, bukan pabrik ilegal. Namun, beberapa warga desa yang lebih memercayai Pak Malik ketimbang Pak Riski, di tengah malam mereka bergotong-royong menghancurkan bangunan sekolah yang sudah setengah jadi itu dengan palu atau alat apa saja agar bangunan itu runtuh dengan tanah.
Kami mendapat kabar dari Pak Riski keesokan harinya, dan hal itu membuat kami semua yang terlibat sangat terpukul. Semakin memerkuat bukti kami kalau literasi di lingkungan desa masih sangat minim. Pembangunan sekolah pun kami tunda untuk sementara waktu hingga keadaan kembali kondusif. Setelah itu juga, kami tidak mendengar kabar tentang Pak Malik. Entahlah dia hendak membuat keributan apa lagi.
Suatu ketika, ketika aku dan Russell sedang bersantai di teras rumah sambil menyibukkan diri dengan membaca buku pinjaman dari perpustakaan umum. Kami tidak sengaja melihat Pak Riski dengan Pak Malik tengah berdebat dan entah mengapa mereka menuju ke rumah kami. "Ya, makanya sekarang minta maaf sama mereka. Masa 'gitu aja malu?" kata Pak Riski dengan sabar. Pak Malik terlihat garuk-garuk kepala dengan wajah yang kebingungan.
Kami menghentikan kegiatan membaca dan saling melirik, bingung dengan apa yang sedang terjadi. Setelah Pak Riski memberi salam kepada kami berdua, dia langsung memberitahukan tujuannya bersama Pak Malik datang ke sini. "Pak Malik ada urusan sama kalian. Ya sudah, saya antar kemari," katanya sambil tersenyum. Lalu, dia pamit undur diri karena ada urusan di kantor kepala desa. Menyisakan kami bertiga dalam suasana yang canggung.
"Em, silahkan duduk, Pak Malik. Aku mau buat teh dulu di dapur sebentar," kataku berusaha memecah kecanggungan. Pak Malik hanya mengangguk kaku sambil duduk di bangku yang tersedia. Duduk berhadapan dengan Russell yang sedari tadi melayangkan tatapan tidak suka kepadanya.
Aku tidak terlalu tahu apa yang selanjutnya terjadi karena sedang menyiapkan jamuan untuk tamu. Sekembalinya dari dapur, aku terkejut karena Pak Malik menitihkan air mata dalam diam. Dengan cekatan aku menuangkan segelas cangkir teh panas untuk Pak Malik, kemudian melihat Russell yang berkali-kali menghembuskan napas gusar. Melihatku yang kebingungan, dengan senang hati Russell bersedia menjelaskan. "Tadi, kami sempat ngobrol sebentar. Gudang bawang dan padi punya Pak Malik yang awalnya melimpah ruah, dalam semalam semuanya hilang. Baru saja kemarin lusa kejadiannya. Para karyawannya juga tidak bisa dihubungi. Ternyata setelah diusut, Pak Malik ditipu sama bawahannya yang kemarin ikut pertemuan. Alhasil, tentu saja Pak Malik harus ganti rugi yang cukup besar. Mana uang simpanannya hilang juga, di lemari kamarnya," terangnya panjang lebar.
Aku tertegun. Menatap tidak percaya Pak Malik yang sedang mengusap air matanya menggunakan kerah lengan. Dia pun membenarkan pernyataan Russell. "Iya, itu benar, Hafid. Semua hartaku lenyap begitu saja. Aku ditipu sama bawahan yang sudah aku anggap seperti keluarga sendiri. Aku bangkrut. Karena tunggakan biaya pendidikan yang jumlahnya sudah banyak, anakku terpaksa putus sekolah. Istriku juga ternyata selingkuh dengan bawahanku dan mereka sudah pergi entah ke mana, tidak ada kabar," jelasnya, memberi jeda. "Mungkin, gara-gara aku meremehkan niat baik kalian, berujung musibah. Karena itulah, aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian berdua. Hafid dan Russell, tolong maafkanlah pria tua ini yang sudah tidak punya apa-apa lagi," tambahnya dengan meminta maaf kepada kami. Pak Malik bahkan sampai menundukkan kepalanya saking merasa bersalah.
Hening. Sejenak kami melempar pandangan satu sama lain, lalu tersenyum. Aku pun berkata, "Pak Malik, namanya hidup itu, pasti ada saja masalah atau musibah yang menimpa kita. Tapi yang terpenting, kita mencari solusinya bukan terus meratapinya. Nggak ada kemajuan dong, ya 'kan? Tindakan Pak Malik yang berani untuk minta maaf, aku acungkan dua jempol buat Pak Malik," tambahku sambil benar-benar memberi dua jempol kepada Pak Malik. Berhasil membuatnya tertawa perlahan.
Russell bergantian berbicara. "Kalau begitu, Pak Malik bersedia jadi bagian yayasan sekolah gratis dari kami? Tentu saja, kami akan menggaji Bapak. Bagaimana?" tawar Russell dengan ramah. Pak Malik tersenyum dan dia setuju untuk bekerja sama dengan kami.
Setelah kejadian itu, segenap tim pembangunan sekolah gratis berkumpul kembali untuk membahas lebih lanjut mengenai perkembangannya dan mulai membangun kembali bangunan setengah jadi yang sudah runtuh itu. Di sela-sela pembangunan, para warga desa yang salah paham dengan kejadian tersebut, meminta maaf kepada kami dan menawarkan bantuan untuk membangun sekolah. Tentu saja, segenap tim sangat berterima kasih dengan kebaikan mereka dan kami juga sudah memaafkan perbuatan mereka.
Butuh waktu satu tahun, tiga bulan untuk membangun bangunan sekolah yang terdiri atas bangunan tradisional berupa rumah joglo dan modern bergaya futuristik ini. Segera setelah bangunan sekolah berhasil dibangun, kami mengajukan surat izin pembangunan dan proses KBM kepada instansi pemerintah setempat. Setelah mendapatkan izin, kami langsung melakukan promosi gencar-gencaran. Para warga desa juga menanggapinya dengan respon yang positif. Pada hari pertama pembukaan, ada dua puluh lima orang yang mendaftar dan mayoritas adalah anak-anak kurang mampu, termasuk Adnan. Mereka langsung diterima, kemudian melangsungkan KBM di salah satu bangunan sekolah. Kami menetapkan waktu KBM berlangsung selama tiga jam saja dengan sesi istirahat setiap lima belas menit. Aku, Russell dan Mba Kartini turun tangan langsung mengajar mereka tentang pelajaran dasar seperti hitung-hitungan, cara membaca dan menulis yang benar, dan lainnya. Selain akademik, sekolah kami juga mendukung kegiatan non akademik.
"Kita belum kasih nama resmi sekolah gratis ini, Mas Hafid," kata Russell sewaktu merapikan peralatan murid-murid.
Aku tepuk jidat. "Iya, ya! Maunya apa?" tanyaku kepadanya.
"Hmm, 'gimana kalau Sekolah Melati Indah disingkat SMI," usulnya dan langsung kutolak mentah-mentah.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku. "Aku tahu! Bagaimana kalau Balai Belajar Berliterasi?" usulku dengan antusias.
Russell tampak menimang-nimang usulanku sebelum akhirnya setuju dengan gagasanku. Kami mulai berjalan keluar dari gedung sekolah dan berhenti di depan bangunan yang megah ini. Balai Belajar Berliterasi, sekolah yang kami bangun dengan tujuan meningkatkan literasi warga desa. Tolong doakan, semoga berhasil!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H