Aku berusaha menenangkan Adnan dengan memeluknya, sementara Russell nampak sedang berpikir keras. Wajah seriusnya kini berganti wajah yang sumringah dan penuh kemenangan, lalu dia mulai membisikkan sesuatu kepadaku. Beberapa saat mendengarnya, aku mulai tersenyum sambil mangut-mangut. "Wah, boleh juga idemu, Sell," kataku setuju.
Setelah Adnan sudah merasa tenang kembali, aku berinisiatif mengambil dompet dari tas selempangku dan membagi beberapa lembar uang berwarna merah kepadanya. Aku meyakinkannya untuk mengambil lembaran uang yang ada di tanganku sekarang. Memang, uang THR sih, tapi tidak apa-apa. Dia melongo melihat uang segitu banyak dariku. Dengan ragu-ragu, dia mengambilnya sembari mengucapkan terima kasih sebanyak dua kali.
                     ~~~~~
Hari menjelang malam. Matahari kini digantikan oleh sang rembulan. Di sela-sela makan malam, aku mengutarakan ide dari Russell dalam rangka meminta persetujuan dari orang tua kami. Tatapan ragu ditunjukkan oleh Bapak kepada kami berdua. "Yakin 'nih? Mau bangun sekolah gratis untuk semua kalangan di desa ini. Emangnya bakal ada yang mau?" tanyanya sambil melirik Ibu yang berada di sampingnya.
Kami saling berpandangan sebelum beranjak dari kursi, menju ruang tengah untuk mengambil seperangkat alat. Sekembalinya kami dari sana, seperangkat televisi dan laptop dinyalakan untuk selanjutnya Russell melakukan presentasi dalam rangka memersuasi Bapak dan Ibu agar menyetujui ide kami berdua. Kami mengambil data dan fakta yang ada di lapangan sehingga Bapak yang berpikir kritis tidak punya waktu untuk interupsi.
Melihat hal ini, Bapak menyetujui ide kami dan meminta kami untuk berdiskusi dengan orang-orang penting yang ada di desa.
Keesokan harinya, dengan bantuan Bapak, kami meminta orang-orang tersebut untuk datang ke balai desa pada pukul sepuluh pagi. Ada sepuluh orang yang hadir dan semuanya tetangga dekat kami. Kami juga melakukan hal demikian, yakni presentasi kepada orang-orang tersebut. "Demi kesejahteraan bersama! Wah, ide bagus, atuh! Kenapa nggak kepikiran dari dulu, ya? Di desa ini juga butuh SDM yang memumpuni kalau mau jadi desa yang modern. Butuh kerjasama dan komitmen antar warga desa," ujar Pak Riski selaku kepala desa yang setuju dengan gagasan dari kami.
"Saya bersedia menjadi pengajar pengganti di situ. Kurikulum dan pembelajarannya nanti saya pikirin," sahut Mba Kartini, salah satu orang berpengaruh di desa ini. Dia juga sudah lulus kuliah S3 di perguruan tinggi luar negeri.
"Haha, boleh juga! Untuk masalah dana, aku bisa urus itu nanti. Sebutkan nominal, maka dompetku siap dikuras," celetuk Om Kevin, sang jutawan dari desa ini.
Kami sangat senang dengan respon positif dari mereka. Mereka bertiga juga asyik berdiskusi dengan beberapa warga lainnya. Namun, ada juga beberapa dari mereka yang kurang setuju dengan ide kami. Salah satunya Pak Malik, juragan beras dan bawang yang terkenal pemarah dan suka mengadu-domba orang lain. Dia punya reputasi yang buruk. "Halah, sekolah gratis apanya! Paling juga memungut biaya dari si miskin dan masuk ke kantong si kaya," katanya yang mendapat sorotan perhatian dari semua orang yang hadir. "Nggak ada bedanya sama sekolah sekarang. Lagipula ya, sekolah itu mendidik untuk menjadi seorang pegawai, bukan menjadi seorang atasan atau pimpinan. Buktinya? Banyak sarjana dan lulusan di atasnya yang masih menganggur, luntang-lantung tidak kunjung mendapat kerjaan. Di anggap beban oleh keluarga sendiri," tambahnya dengan nada meremehkan.
Salah satu warga ada yang terprovokasi dan mencoba menghajar Pak Malik jika tidak ditengahi oleh Pak Riski dan Om Kevin. Dengan tegas, Russell berkata, "Saya ulangi, jika ada yang tidak setuju dengan gagasan kami, silahkan keluar. Pintu terbuka lebar untuk Anda," katanya dengan lantang. "Untuk masalah tadi, saya bisa pikirkan lagi. Tapi prioritas sekarang adalah bagaimana cara meningkatkan minat belajar warga desa agar tertarik untuk datang ke sekolah kami," lanjutnya.
Pak Malik mendengus dan keluar dari balai desa bersama seeorang bawahannya yang duduk di sampingnya. Keadaan kembali kondusif setelah perginya mereka dan pertemuan itu bisa dilanjutkan. Akhirnya, setelah berdiskusi selama enam jam lamanya, dengan beberapa inovasi dari warga desa, rencana kami semua akan dilaksanakan besok. Kami dibagi menjadi beberapa tim untuk membangun sekolah gratis ini. Ada yang bagian desain bangunan, metode pembelajaran serta kurikulumnya, bagian keuangan, promosi, dan lainnya. Mereka semua nampak kompak dan akrab.
Di satu sisi, Pak Malik dan rekannya berusaha menggagalkan rencana kami dengan menyebar desas-desus jika ada pembangunan pabrik ilegal di desa ini dan akan menggusur rumah para penduduk. Lebih parahnya, kebanyakan dari warga percaya begitu saja. Padahal kepala desa sudah memberi tahu kalau akan dibangun sebuah sekolah, bukan pabrik ilegal. Namun, beberapa warga desa yang lebih memercayai Pak Malik ketimbang Pak Riski, di tengah malam mereka bergotong-royong menghancurkan bangunan sekolah yang sudah setengah jadi itu dengan palu atau alat apa saja agar bangunan itu runtuh dengan tanah.