Mohon tunggu...
Ryan Wiguna
Ryan Wiguna Mohon Tunggu... profesional -

Hananto Maryan Wiguna, nama yang cukup panjang. Ya, itulah nama asli saya yang diberikan kedua orang tua. Saya lahir dan besar di daerah pelosok di propinsi Jambi. Sesuatu yang amat menarik jika bicara tentang sejarah, alam, dan kehidupan. Saya mencintai semua itu.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

2014, Eksportir Furniture Bisa Bernafas Lega

1 Januari 2014   14:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13885745621497652468

[caption id="attachment_312924" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Semalam (tanggal 31 Desember 2013) saya sedikit kaget menerima email yang berisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 81 tahun 2013. Permendag ini merupakan jawaban atas kegelisahan saya beberapa minggu terakhir, mungkin juga kegelisahan banyak eksportir furniture di Indonesia. Saya sendiri bukan pelaku ekspor furniture. Saya merasa khawatir bukan karena kepentingan bisnis saya, tapi lebih pada apa yang akan terjadi di tahun 2014 jika Permendag 81 tidak diterbitkan.

Permendag 81 tahun 2013 merupakan revisi dari Permendag 64 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Meskipun terkesan terbit sangat mepet (tanggal 27 Desember 2013), Permendag 81  menjadi penyelamat nasib eksportir furniture yang belum mendapat Sertifikat Legalitas Kayu. Pasalnya, dalam Permendag 64 tahun 2012 (Sebelum direvisi menjadi Permendag 81) dijelaskan bahwa semua produk industri kehutanan yang HS (Nomor Pos Tarif)-nya masuk Lampiran B (didominasi oleh produk olahan furniture)  wajib menggunakan dokumen V-Legal pada 1 Januari 2014. Dengan terbitnya Permendag 81 tahun 2013, disampaikan bahwa untuk kelompok produk yang masuk dalam Lampiran B permendag 64 ditunda penerapan V-Legalnya hingga tanggal 1 Januari 2015 (satu tahun). Masih terbuka kesempatan yang luas untuk eksportir furniture dan industri kecil dalam mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu.

Lantas bagaimana dengan keinginan kuat pemerintah khususnya Kementrian Kehutanan dalam upaya memerangi peredaran kayu illegal? Seperti yang kita ketahui bersama, sejak diterbitkannya Permenhut No. P.38 tahun 2009 (dan semua perubahannya hingga Permenhut 45 tahun 2012), upaya penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) menjadi fokus utama dalam upaya memerangi peredaran kayu illegal. Sampai akhirnya melalui Permendag 64 tahun 2012, SVLK menjadi tonggak utama penjamin legalitas kayu yang akan diekspor melalui out-put berupa dokumen V-Legal. Penerapan kewajiban menggunakan dokumen V-Legal telah berjalan sejak 1 Januari 2013 dengan sasaran produk yang masuk dalam lampiran A Permendag 64/2012, didominasi oleh kayu olahan dan kertas (selain furniture). Semangat untuk menerapkan SVLK yang selama ini diakui sebagai sistem sertifikasi pertama di dunia dan diwajibkan oleh sebuah negara (Indonesia) terhadap legalitas kayu, mendapat tantangan besar dengan diterbitkannya Permendag 81 tahun 2013. Ketika Kementrian Kehutanan menggadang-gadangkan keunggulan, "kehebatan" dan kesiapan SVLK, justru untuk melaksanakan ekspor menggunakan V-Legal pada produk furniture terpaksa diundur.

Tidak dapat dipungkiri, pelaku usaha industri produk turunan kayu memang akan diberatkan dengan pemberlakuan wajib SVLK. Pasalnya tidak mudah dan tidak murah sebuah unit manajemen untuk mendapatkan pengakuan lulus sertifikasi SVLK. Selain akan menambah pengeluaran perusahaan, tidak sedikit pula perusahaan di Indonesia yang kurang tertib administrasi, ditambah kontrol dan sosialisasi regulasi yang kurang oleh instansi terkait. Sebuah syarat mutlak untuk pelaku usaha dalam mendapatkan SVLK adalah tertib administrasi. Administrasi yang panjang dan berbelit dalam upaya pemanfaatan hasil hutan kayu bukan hal mudah untuk ditertibkan. Dibuktikan dengan masih sedikitnya pelaku usaha yang mendapat Sertifikat SVLK. Keluhan ini juga menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku usaha industri kayu. Mungkin hal ini juga yang menjadi pertimbangan Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag 81 tahun 2013.

Di tengah kondisi neraca perdagangan ekspor Indonesia yang sedang diupayakan terus meningkat, institusi pemerintah menjadi tonggak utama dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan strategis termasuk ekspor produk industri hasil hutan. Kesiapan internal yang masih minim dalam mewujudkan cita-cita SVLK mungkin menjadi evaluasi tersendiri sehingga langkah kebijakan mengundur waktu penerapan V-Legal untuk ekspor furniture diambil. Semoga kebijakan ini tidak akan menimbulkan perdebatan panjang antarinstitusi pemerintah (khususnya Kehutanan dan Perdagangan), tidak pula menimbulkan kecemburuan bagi pelaku usaha yang jauh-jauh hari telah berupaya mendapat Sertifikat Legalitas Kayu. Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun