Mohon tunggu...
Ryan Wiguna
Ryan Wiguna Mohon Tunggu... profesional -

Hananto Maryan Wiguna, nama yang cukup panjang. Ya, itulah nama asli saya yang diberikan kedua orang tua. Saya lahir dan besar di daerah pelosok di propinsi Jambi. Sesuatu yang amat menarik jika bicara tentang sejarah, alam, dan kehidupan. Saya mencintai semua itu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak-anak Ojek Payung

19 Juli 2014   06:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:55 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pukul 23.42 WIB, hari ini tanggal 15 Juli 2014. Pelan-pelan kereta Progo yang saya tumpangi dari Yogyakarta berhenti di Stasiun Senen Jakarta. Diluar jendela, hujan deras menyambut. Hari ini saya memulai perjalanan mudik, untuk bisa bertemu keluarga pada lebaran tahun ini. Esok, saya menumpang sebuah maskapai penerbangan murah menuju Jambi.

Hujan masih turun, lebat. Atap seng Stasiun berisik diterpa hujan. Dibeberapa titik, lantai keramik Stasiun terlihat licin dan basah. Bangku-bangku yang biasa dipakai sebagai tempat menunggu penumpang kosong, stasiun memang telah sepi. Stasiun Senen melihatkan ornamen lama dengan gaya kolonial yang masih dipertahankan, jam dinding besar digantung di tiang stasiun. Ini memang gaya stasiun-stasiun kereta api di pulau Jawa.

Saya keluar mengikuti barisan penumpang lainnya. Stasiun ini cukup nyaman dan bersih. Diluar, hujan masih lebat. Ibu Kota memang tidak pernah tidur. Berbeda dengan suasana di ruang tunggu bagian dalam stasiun, keluar pintu stasiun saya langsung disambut puluhan orang yang menawarkan jasanya. Mulai dari tukang angkat (porter), penjaja makanan, tukang ojek, sopir bajai, hingga pengemudi taksi. Hujan yang datang ternyata membuka peluang bisnis jasa baru yaitu ; ojek payung.

Kejamnya Ibu Tiri tidak Sekejam Ibu Kota. Itu terlintas kembali dibenak saya menyaksikan puluhan anak yang masih mengais rezeki. Anak anak yang masih tersenyum itu, membuat saya meringis menyaksikannya di emper strasiun. Hujan telah membuat mereka hilang dari kehangatan keluarga, apalagi dari hangatnya selimut didalam kamar yang penuh pernik lucu. Anak anak ini masih mencari uang, dari berkah hujan bersama profesi mereka sebagai ojek payung.

Angin mengusik kulit, mulai terasa aroma dingin. Di lahan parkir, anak anak ini berjalan diantara hujan. Tubuh mereka kuyup. Malam dan hujan seperti tidak lagi terasa sebagai moment yang dapat memanjakan tubuh mereka diantara hangat keluarga. Bergantian, mondar mandir. Ada yang menghantarkan tamunya menuju kendaraan yang diparkir, ada juga yang kearah stasiun karena telah selesai menghantar tamunya pada kendaraan yang diparkir. Begitulah seterusnya siklus itu menjadi kenyataan, tontonan yang nyeri di tengah malam dengan hujan lebat di Ibu Kota.

Kehidupan telah merenggut segalanya. Tuntutan yang timbul akubat persaingan dalam hidup, persaingan untuk bisa terus bertahan, persaingan yang sengaja diciptakan demi mengikuti kerakusan, persaingan hidup yang mematikan. Banyak waktu direnggut, banyak cerita hilang hanya demi tuntutan yang bernama UANG. Entahlah, jika terbesit cerita asal muasal calon presiden kita Jokowi yang berasal dari anak desa dan hidup dalam keterbatasan. Apakah mungkin kelak diantara mereka, anak anak yang menjadi ojek payung ini akan menjadi salah satu pemimpin bangsa. Aku tidak lagi bisa membayangkan, mungkin memang inilah kenyataan yg sengaja diciptakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun