Stasiun Pasar Senen pukul 21.30. Seorang bapak tua dengan pakaian yang sederhana, cenderung rombeng selesai menawarkan dagangannya disebuah warung dalam statiun. Voucher pulsa, harga grosir.Kulihat ia sudah beberapa kali mondar-mandir. Utara-selatan-utara-selatan. Dan kini ia duduk disampingku.
Ia keluarkan Samsu,dari kantongnya. Mungkinyang ia dapat dari pewarung barusan. Lalu menyulutnya.
Ia tanyakan padaku mau kemana. Dan ku jawab ke Jogja. Dengan kereta paling akhir. Progo.
“Bangsa ini tidak maju-maju, karena pemimpinnya tak punya visi kedepan,” tiba-tiba kalimat itu terluncur dari lelaki 70an tahun ini, pejualan vocer grosiran ,sembari menyedot samsunya dalam-dalam.
“Bagaimana mau maju jika ngurus kereta saja tidak becus.” Hal yang sangat dekat dengan saya, misalnnya, kereta yang saban hari saya harus tumpangi, selalu mengalami keterlambatan. Seperti ini sering terjadi. Ini satu bukti bahwa kitapun tak kusa menguasai ilmu merawat kereta, maintenance kereta. Entah apa yang dikoar-korarkan mereka yang nyaleg dan mimpin itu. Seolah mereka punya kemapuan menyelesaikan permasalahan kita ini.
“Mungkin mereka kira rakyat kecil tak punya urusan penting. Tak punya jadwal. Seenak hidupnya sendiri”
Menurutnya, kita ini tidak mempunyai pemimpin yang bisa mengatur sebuah negara. “Siapapun presidennya nanti tak akan mampu menyelesaikan kondisi kebangsan seperti ini. Kita ini bangsa yang gemar menyombongkan diri,” katannya.
“Pernah dengar guyonan satir seperti ini?
“Sebuah perlombaan penembak jitu sesama tentara” mulainya bercerita.
“Tentara asal Amerika meminta sebuah semangka sebagai sasaran tembaknya. Diletakkan semangka itu di atas ubun-ubuh salah salah satu tentara lain. Dibidiknnya,” kata lelaki tua ini, mengarahkan tangan kananya, dengan jari-jari menyerupai huurf L berdiri, “DOOR…tembuslah semangka itu, tak meleset sedikitpun,”
Tentara Amerika ini lalu berteriak “I am a Rambo.”
Tentara kedua, berkebangsaan Inggris. Lelaki tua mengulangi gerak tangan dan jarinya, kali ini diikuti dengan memicingkan mata kanannya.
“Saya bisa melakukannya bahkan pada buah yang lebih kecil. Dipilhlah oleh tentara itu apel, dan diletakkan di kepala tentara sukarelawan sasaran tembak.”
“Door..!!”
“Lihat,” kata bapak tua ini sembara berkacak pinggang diantara duduknya diatas sandal jepitn yang lusuh.
“I am a James Bond,” begitu kata tentara Inggris, yang ditirukan sang bapak.
Dan, unjuklah seorang polisi dari Indonesia.
“Hei..jangan sombong dulu, saya akan pilih buah yang lebih kecil dari kalian,” kata sang polisi, “duku”
Diletakkanlah sebutir duku di atas kepala sukarelawan.
“Dooor…!!!”
“See…I am Sorry” begitu pak tua ini terkekeh menirukan ucapan penembak dari Indonesia yang berhasil menewaskan tentara sukarelawan.
“Betapa kita ini begitu menyombong akan ketidak mampuan kita,” tukasnya.
“Sepertinya kita patut meminjam orang luar untuk menjadi presiden kita. Seperti Fujimori yang berhasil mengelola jepang. “ lanjut laki-laki tua lulusan STM ini sembari menghitung lagi jumlah voucernya.
Dalam sudut-sudut seperti inilah tersimpan kecerdasan getir, dari pemikir udik. Keluasan pikiran dan kesederhanana pikir. Pikiran sebagai sebuah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H