“Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda maupun Inggris berusaha keras untuk menguasai istilah-istilah politik asing yang baru itu. Mereka mengira sudah memperoleh corak intelektuil dan prestise sosial karena penggunaan bahasa itu.”
(Selo Soemardjan, 1962)
Pilkada DKI selalu menyedot perhatian publik secara nasional. Bagaimana tidak, stasiun-stasiun televisi—Jakarta bersiaran—nasional menayangkan debat publik ketiga pasangan calonnya. Saya yang orang Jogja pun jadi tertarik buat nonton debat itu meski sepotong-sepotong. Sekadar catatan, saya juga nonton debat publik untuk pasangan calon di kota saya sendiri di TVRI.
Acara debat tak hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga media lain. Satu media yang patut diapresiasi tinggi adalah tirto.id, sebuah media online yang baru diluncurkan tahun lalu. Digawangi oleh tokoh-tokoh senior di dunia jurnalisme, media ini menawarkan banyak hal baru. Salah satunya adalah aktivitas riset mereka yang tidak biasa.
Satu hal penting yang mereka amati adalah penggunaan istilah asing dalam debat. Atas pertanyaan “Siapa calon yang paling sering menggunakan istilah asing?” tentu kita sudah bisa menebaknya tanpa harus menghitung dengan teliti. Namun persis itulah (salah satu) yang dilakukan oleh tim riset tirto.id! Mereka menghitung kata-kata asing yang digunakan oleh para calon sejak dalam debat pertama.
Kita pantas bertanya: mengapa calon gubernur dan wakil gubernur menggunakan istilah asing dalam debat?
Jawaban yang barangkali indah untuk diluncurkan adalah karena dalam urusan politik dan birokrasi jamak ditemukan istilah-istilah dan singkatan teknis yang sudah populer. Upaya penerjemahan dan penggunaannya dalam debat dan diskusi dikhawatirkan justru mengurangi makna dari istilah tersebut. Bukannya begitu?
Namun ijinkan saya mengutip tulisan ilmuwan sosial legendaris, Selo Soemardjan, yang melakukan penelitian mengenai perubahan sosial di Yogyakarta lebih dari 55 tahun yang lalu. Barangkali kondisi Yogyakarta pada saat itu bisa digunakan untuk memahami fenomena-fenomena saat ini.
Catatan Penting Selo Soemardjan
Jika dirunut dari sejarahnya, Yogyakarta adalah sebuah kerajaan bercorak Jawa. Stratifikasi atau kelas sosial dalam masyarakat adalah salah satu hal yang menonjol baik dalam kultur kerajaan ataupun kultur Jawa. Pada zaman kerajaan, kelas atas dalam masyarakat tentu saja adalah raja dan keluarganya, yang sering kita sebut dengan istilah bangsawan.
Namun kondisi politik akibat penjajahan Belanda pada saat itu mengubah tatanan yang ada. Salah satu program yang dilakukan Belanda pada tanah jajahannya adalah dengan memberikan pendidikan (sekolah) pada kaum Pribumi. Tujuannya tak lain untuk mendapatkan tenaga pendukung pemerintahan mereka yang mau dibayar dengan harga murah.
Secara umum di Jawa, tujuan itu berkembang terlalu jauh barangkali. Masyarakat pada saat itu perlahan mulai mengenal sebuah kelas atas baru yang menyamai kaum bangsawan, yaitu kaum intelektuil atau cendekiawan. Kaum ini adalah kelompok warga masyarakat Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat formal di atas tingkat sekolah dasar.