Pada suatu sore yang redup, saya melewati proyek konstruksi sebuah kampus swasta. Di lahan yang sebelumnya ditanami tebu yang rimbun itu, terpasang centang-perenang besi-besi beton yang kokoh tapi gersang. Tembok dan tiang-tiang di beberapa sisi sudah berdiri angkuh tak peduli. Sementara, para pekerja masih memeras peluh walau hari perlahan menua. Tuntutan tenggat telah membuat mereka tak acuh pada penantian anak istri dan Dangdut D'Academy yang sebentar lagi akan dimulai~
Karena berkendara pada kecepatan yang lambat, maka cukup banyak situasi yang dapat teramati pada lingkup pekerjaan konstruksi tersebut. Sampai akhirnya, picingan mata menangkap suatu pemandangan yang tidak lazim tapi nyata. Adalah beberapa di antara puluhan tukang bangunan itu ternyata wanita yang berusia tak lagi muda. Mereka tampak tersamar karena menggunakan kostum yang seragam dengan pekerja lainnya --celana training kusam dan berlubang, kaos oblong aus dan mangkak, caping atau topi, beberapa memakai balaclava yang sebenarnya adalah gombal sedapatnya, dan beralaskan kaki sandal jepit atau sepatu boat butut.
Para pekerja wanita yang memilih bekerja di proyek bangunan mungkin di daerah lain telah wajar dan menjadi pemandangan yang biasa. Namun, di daerah kami --Jateng dan DIY-- akhir-akhir ini baru mulai marak, setidaknya menurut pengamatan saya. Sebelumnya, tukang bangunan adalah pekerjaan yang dimonopoli kaum lelaki yang bukan sembarang lelaki, namun lelaki jelmaan Hulk yang terpelecat jauh ke pelosok sisa-sisa peradaban Atlantis..
***
Di jaman dimana makanan impor terlihat lebih keren dan mahal untuk difoto, ternyata masih terdapat bapak-bapak yang mau-maunya berjalan kaki menawarkan krupuk sermier dengan pikulan. Camilan tradisional berbahan baku singkong tersebut dijual berkeliling dari kampung-kampung. Celakanya, saya sering memergoki mereka memikul plastik berisi sermier yang berjejal dengan susunan yang masih rapi, seperti saat baru berangkat tadi, belum berkurang barang sebiji.
Di sudut lain kota, di sela lalu-lalang mobil dan motor kreditan baru, terlihat simbah menuntun sepeda dekil bermuatan guci tanah liat yang dapat difungsikan sebagai hiasan, tempat payung, atau pot. Di suatu jam, saya memergokinya di titik A. Di jam lain, saya kembali menjumpainya di titik A+10km masih menuntun sepeda dan muatan yang sama. Simbah yang lebih layak bercengkerama bersama cucu atau bersiul menghibur perkututnya itu, justru harus berjibaku menghidupi hidupnya yang secara matematis tinggal tak seberapa lama.
***
Semoga ibu pekerja bangunan menjalaninya bukan karena ditinggal pergi suami yang meninggalkan utang untuknya. Semoga ibu melakukannya bukan karena suami yang tak menafkahinya, bukan karena suami main gila, atau ketagihan vodka.
Semoga simbah penjaja guci menjalaninya hanya karena daripada diam menunggui beribu pohon sengonnya. Semoga simbah berkeliling dari komplek ke komplek karena bosan membelanjakan kiriman anaknya yang belum habis-habis sudah ditransfer lagi. Semoga simbah berjualan bukan untuk makan hari itu saja, entah untuk makan besoknya.
Semoga bapak pemikul sermier menjalani pekerjaannya hanya karena sedang menunggu hasil sawahnya. Semoga bapak rela berjualan makanan udik bukan karena digujer anaknya untuk belikan Satria FU, karena kalau engga Satria cabe-cabean engga mau dibonceng lah ya. Semoga bapak memikul sermier dan berkeliling dari kampung ke kampung karena memang sudah passi0n-nya berpetualang di labirin-labirin kehidupan.
Doa saya untuk ibu pekerja bangunan, simbah penjaja guci, dan bapak pemikul sermier, Â semoga pemandangan yang tampak oleh saya sebagai suatu keadaan yang sangat nggrantes itu, tidak demikian nyatanya di diri dan batin beliau-beliau. Semoga tulisan ini hanya bentuk lemahnya perasaan, pun gembeng-nya saya dalam memandang kehidupan. Semoga yang senyatanya, beliau-beliau dengan senang hati menjalani.