Maafkan saya harus menyinggung soal pilkada DKI dan isu kebhinnekaan yang belakangan mengiringi. Permintaan maaf dalam konteks ini sangat relevan, tidak mengada-ada, dan bukan diarahkan untuk mencari simpati pembaca, agar timbul persepsi bahwa saya adalah orang yang berperasaan lembut lagi soleh. Maaf harus tertulis karena saya lancang mengangkat tema itu lagi, padahal di media mainstream dan media sosial, tema itu sudah mengakuisisi semua kolom dan celah. Kelancangan ini saya sadari akan semakin memunculkan kejengahan yang bahkan saat ini sudah menyentuh ranah kemuakan massal.
Tetapi, kejengahan yang berkembang menjadi kemuakan tidak elok jika harus digiring menjadi pembenaran bahwa kita menjadi tak acuh terhadap bahasan berbulan-bulan belakangan ini. Bukan apa-apa, karena hal itu bersinggungan dengan NKRI, tanah tumpah darah, pun lahan melestarikan kehidupan mulai buaian ayunan sampai liang kematian. Pilkada DKI dan kebhinnekaan bukanlah masalah remeh yang dengan mudah kita kesampingkan, karena pada kenyataannya bermuara pada gentingnya persatuan dan kesatuan di antara kita.
Pilkada DKI sebenarnya event berskala provinsi, namun menjadi perhatian nasional karena kedudukan Jakarta sebagai ibu kota negara. Yang harusnya hanya menjadi gunjingan di warkop Cililitan, tetapi dari warteg di Dlingo mBantul terdengar juga nama Ahok dan Anies disebut. Sungguh suatu fenomena politik yang menimbulkan gonjang-ganjing sekaligus polarisasi masyarakat.
***
Saya termasuk orang yang tergiring atau terkadang sengaja menenggelamkan diri dalam perbincangan tentang pilkada DKI dan pernik di dalamnya. Sering juga ikut-ikutan bicara padahal tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Namun, jauh di dalam hati muncul kecemasan, bahwa apabila gontok-gontokkan yang dilatarbelakangi hasrat menang kalah ini diterus-teruskan, maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa. Sebab, pilkada DKI dalam perkembangannya menyentuh ke isu sensitif SARA.
Nah, karena masih dalam rangka ulang tahun Emha Ainun Nadjib --jamak disapa Cak Nun— yang ke 64 tahun pada Sabtu 27 Mei kemarin, kiranya solusi yang ditawarkan Cak Nun dalam menghadapi isu-isu terkait pilkada DKI dapat saya haturkan kepada forum pembaca sekalian.
Sebagai orang yang mendaku sebagai bocahe Cak Nun (CN), saya merasa memiliki kewajiban moral untuk menghantarkan konsep berpikir beliau yang saya jamin sungguh ciamik. Begini, CN memiliki konsep berpikir yang dilambangkan dengan gelembung. Gelembung sebenarnya merupakan simbolisasi wilayah berpikir yang lingkupnya terbagi dengan kelas-kelas.
CN menjelaskan, gelembung berpikir dimulai dari kelas terendah yaitu gelembung kalah menang antara kami dan mereka. Kemudian berlanjut dengan gelembung kalah menang dalam diri kita masing-masing, gelembung kalah menang bersama sebagai bangsa, lalu berkembang ke gelembung dunia dan alam semesta.
Saat pilkada DKI tempo hari, kita terjebak dalam gelembung paling rendah, kalah menang antara kami dan mereka. Yang ada dalam ceruk ini hanya kengototan masing-masing pihak, dan jauh dari rasa kebersamaan sebagai warga sebangsa. Dalam wilayah ini, kemenangan kami segala-galanya dan kekalahan mereka adalah suatu keharusan. Tak ada kedewasaan apalagi kebijaksanaan.
Pihak kami merasa sebagai malaikat yang berhak memvonis mereka sebagai iblis terlaknat. Demikian juga sebaliknya, mereka menunjuk dirinya sebagai sosok paling benar dan kami berada di pihak yang paling hina. Jadi, antara kamidan mereka sama saja terjebak dalam egoisme. Suatu keadaan menyedihkan yang sulit diluruskan.
CN menyarankan, agar semua pihak mengubah cara berpikir. Karena apabila masih mempertahankan cara berpikir yang demikian, kita tidak akan pernah mereguk kemenangan bersama-sama.