Telah saya utarakan di tulisan Sepeda-sepedaku dan Cerita yang Mengitarinya, bagaimana bisa saya jadi korban hanyut arus besar tren sepeda di era pandemi. Sampai huruf ini terketik, antusiasme saya pada sepeda semakin tak terbendung.
Akhir pekan, dimana waktu saya atur sebagai waktu bersepeda ialah waktu yang demikian saya nantikan. Saya seperti anak kecil yang girang dan tak sabar menunggu.
Saya masih belum tahu akan bertahan berapa lama berada di kebiasaan ini. Saya berharap akan seterusnya.
***
Terus terang, baru dalam hitungan beberapa bulan belakangan ini saya merasa nyaman bersepeda. Sejak sepeda saya beli sembilan tahun lalu, frekuensi saya menungganginya sangatlah jarang. Jika diukur jarak, niscaya belum sampai 100 kilometer.
Minimnya frekuensi dan jarak tempuh karena saya tak temukan kesenangan dan kenyamanan. Sampai tren (atau fad?) sepeda datang dan saya penasaran.
Saya terus bertanya, mengapa banyak orang bersepeda tapi saya tetap tak bisa. Sampai saya petakan masalah apa yang menjadi akarnya. Hal pertama yang tercetus: sadel!
Segitiga kecil tempat kita letakkan tubuh itu sangat berpengaruh besar dalam kenyamanan bersepeda. Jika ada yang keliru dengan sadel, pantat akan terasa kebas dan pedas usai bersepeda. Bahkan ada bagian tertentu yang terasa hilang entah kemana wqwqwq..
Sebelum benar-benar kembali turun bersepeda, saya lakukan riset kecil-kecilan. Pertama, saya tanya ke teman, seorang praktisi sepeda downhill. Saya bertanya jenis sadel merk apa yang nyaman. Ia sebut sebuah merk.
Di samping itu, saya berselancar di dunia maya. Ternyata, pencarian soal sadel menemukan banyak jawaban. Tertampil pula sadel banyak dijadikan kambing hitam ketidaknyamanan bersepeda. Ada yang bilang, sepeda harga ratusan juta akan percuma jika sadelnya tak nyaman.
Selain jenis dan ukuran sadel memang harus disesuaikan, ada pula pesepeda yang menyebut jam terbang minim menjadi sebab sadel terasa mengganggu. Semata masalah kebiasaan. Dari situ, sebelum putuskan beli sadel baru, saya memilih menambah frekuensi dan durasi lebih dulu.