Beberapa tahun yang lalu, sebuah kantor mengeluarkan kebijakan yang sangat mengejutkan. Sekian banyak karyawan yang sudah menjadi karyawan tetap, harus diseleksi ulang untuk kemudian diambil keputusan apakah mereka akan dipertahankan atau diberhentikan.
Singkat cerita, seleksi benar-benar dilaksanakan. Hasilnya berbunyi sangat sederhana, bertahan atau keluar. Namun rasanya sangat tidak sederhana bagi mereka para karyawan yang harus terpaksa pergi dari tempat mencari nafkah sekaligus tempat dimana digantungkan kebanggaan.
Satu dari beberapa karyawan yang harus diberhentikan adalah Mas Krisno. Ia sosok yang santun lagi berkinerja baik. Tidak mengira jika ia harus diberhentikan hanya karena tidak lolos seleksi.
***
Mungkin hampir sepuluh tahun kami tidak mendengar kabar dimana Mas Krisno. Hanya, pernah mampir kabar di telinga kami bahwa ia sudah mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta sana. Selebihnya, bagaimana kabar Mas Krisno tidak secara persis dan rinci kami ketahui.
Belum lama ini saya sekeluarga bersama Bapak, Ibu, dan adik mengunjungi pusat perbelanjaan di Semarang. Saya dan Bapak harus naik ke lantai puncak untuk mengikuti sholat Jumat. Ya, pusat belanja itu menyediakan tempat yang cukup representatif untuk menghelat ibadah wajib mingguan itu. Usai menunaikan sholat, dua cowok kece ini harus mengantre untuk turun melalui lift bersama jamaah lainnya.
Tiba-tiba, seorang lelaki yang sejujurnya saya lupa siapa ia, menyapa Bapak. Bapak langsung ingat, namun saya yang terlalu banyak memikirkan nasib negara, belum bisa memanggil ingatan yang telah lama sirna. Akhirnya Bapak mengingatkan bahwa ialah Mas Krisno, tokoh utama tulisan kali ini.
Mas Krisno lalu terlibat pembicaraan akrab dengan Bapak. Terbahaslah kemudian tentang nasibnya sekarang. Ia telah mapan sebagai staf kementerian di Jakarta. Tidak berhenti di situ, rupanya ia juga telah menyelesaikan pendidikan masternya di negerinya Ibrahimovic. Mengagumkan.
***
Mas Krisno beberapa tahun lalu merasakan kepahitan yang demikian sangat hingga apabila ia menyumpahserapahi nasib pun kita akan memakluminya. Kedudukan pekerjaan bagi seorang lelaki tidak hanya sekadar sarana pemenuh kebutuhan, namun lebih dari itu, pekerjaan adalah harga diri.
Bayangkan bagaimana rasanya ketika pekerjaan yang telah bertahun diduduki tiba-tiba harus terlepas. Tidak ada hujan tiada angin, keadaan memaksa harus meninggalkan tempat sehari-hari berkarya mendayagunakan waktu, pikiran, dan tenaga. Jika sudah seperti itu, maka apalagi yang pantas disebut selain seburuk-buruk keadaan?